Mulsa

Daun pinus yang rontok dapat digunakan sebagai mulsa
Mulsa yang sudah tua akan secara alami menjadi kompos
Serpihan kayu sebagai mulsa
Mulsa dari serpihan batu
Mulsa anorganik dari bahan plastik yang digunakan pada kebun cabe di Sukabumi, Jawa Barat
Mulsa karet, yang bisa didapatkan dari bahan limbah seperti ban

Mulsa adalah material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat tanaman tumbuh dengan baik. Mulsa dapat bersifat permanen seperti serpihan kayu, atau sementara seperti mulsa plastik. Mulsa dapat diaplikasikan sebelum penanaman dimulai maupun setelah tanaman muncu. Mulsa organik akan secara alami menyatu dengan tanah dikarenakan proses alami yang melibatkan organisme tanah dan pelapukan non-biologis. Mulsa digunakan pada berbagai aktivitas pertanian, mulai dari pertanian subsisten, berkebun, hingga pertanian industri.[1]

Mulsa dibedakan menjadi dua macam dilihat dari bahan asalnya, yaitu mulsa organik dan anorganik. Mulsa organik berasal dari bahan-bahan alami yang mudah terurai seperti sisa-sisa tanaman seperti jerami dan alang-alang. Mulsa organik diberikan setelah tanaman /bibit ditanam. Keuntungan mulsa organik adalah dan lebih ekonomis (murah), mudah didapatkan, dan dapat terurai sehingga menambah kandungan bahan organik dalam tanah. Contoh mulsa organik adalah alang-alang/ jerami, ataupun cacahan batang dan daun dari tanaman jenis rumput-rumputan lainnya.

Mulsa anorganik terbuat dari bahan-bahan sintetis yang sukar/tidak dapat terurai. Contoh mulsa anorganik adalah mulsa plastik, mulsa plastik hitam perak atau karung. Mulsa anorganik dipasang sebelum tanaman/bibit ditanam, lalu dilubangi sesuai dengan jarak tanam. Mulsa anorganik ini harganya mahal, terutama mulsa plastik hitam perak yang banyak digunakan dalam budi daya cabai atau melon.

Bahan

Pemilihan bahan mulsa yang terbaik bagi pertanaman harus mempertimbangkan banyak faktor, seperti ketersediaannya, harga, dampaknya bagi tanah, dan penampilannya. Sifat fisik dan kimiawi yang dipertimbangkan diantaranya laju dekomposisi, reaktivitas terhadap tanah, porositas, tingkat penyerapan air, dan sebagainya. Beberapa jenis mulsa juga dapat mengandung benih gulma dan patogen.[2]

Mulsa organik

Mulsa organik akan terurai seiring dengan waktu. Laju penguraian akan sangat bergantung pada kondisi lingkungan, seperti temperatur, penyinaran matahari, curah hujan, organisme tanah, dan kelembaban udara. Mulsa yang mengandung terlalu banyak karbon relatif terhadap kandungan nitrogennya dapat menyebabkan konsentrasi unsur nitrogen di dalam tanah berkurang karena aktivitas organisme tanah cenderung menghabiskan nitrogen untuk pertumbuhannya.[3][4] Namun belum diketahui apakah hal ini berdampak negatif bagi tanah atau tidak.[5] Rasio karbon terhadap nitrogen yang optimal adalah 30-35:1.[6] Mulsa organik yang terlalu rapat porositasnya dapat menghalangi laju penyerapan air, dan mulsa organik yang terlalu kering dapat menyerap air dari tanah sehingga membuat zona perakaran kering.

Sebuah percobaan di Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan limbah perkebunan kelapa sawit memperlihatkan bahwa mulsa organik dengan rasio C/N yang tinggi (misal dari limbah kelapa sawit) tidak baik bagi tanaman cabai. Dan mulsa organik tidak memberikan hasil panen yang lebih baik secara signifikan dibandingkan tanaman tanpa mulsa. Namun mulsa organik terbukti menjadikan struktur tanah lebih baik, yang mampu memberikan pengaruh secara jangka panjang.[7]

Contoh mulsa organik yaitu:

Daun
Dedaunan yang telah rontok dapat digunakan sebagai mulsa. Setelah rontok dari pohon, dedaunan cenderung mengering dan terdekomposisi menyatu ke tanah.
Potongan rumput
Potongan rumput dari mesin pemotong rumput dapat dikumpulkan dan dijadikan mulsa. Potongan rumput berukuran kecil sehingga bersifat padat dan memiliki porositas yang rendah. Potongan rumput perlu dicampur dengan bahan lainnya yang lebih renggang sebelum diterapkan menjadi mulsa. Minimnya kandungan nitrogen pada potongan rumput menyebabkan konsentrasi nitrogen pada tanah dapat berkurang, sehingga penerapan potongan rumput perlu dicampur dengan sesuatu yang kaya nitrogen.
Lumut
Lumut, seperti Sphagnum dapat cepat tumbuh, dapat dikemas, dipadatkan, dikeringkan dan dibasahkan kembali. Tubuh Sphagnum, yang hidup maupun yang mati, dapat menyerap air hingga 26 kali berat keringnya.[8]
Serpihan kayu
Serpihan kayu merupakan produk samping atau limbah usaha penggergajian kayu, penebangan kayu, silvikultur, dan arborikultur. Serpihan kayu dapat digunakan untuk menjaga kelembaban tanah, menjaga temperatur tanah, dan menekan pertumbuhan gulma. Namun dekomposisi serpihan kayu oleh bakteri memakan nitrat dari tanah. Mulsa dari serpihan kayu juga dianggap memiliki nilai seni. Serpihan kayu yang digunakan biasanya didapatkan dari kulit kayu karena bagian ini adalah yang paling jarang digunakan oleh industri pulp dan kertas dan penggergajian kayu.
Jerami
Jerami adalah residu tanaman gandum, padi, atau tanaman suku rumput-rumputan lainnya, umumnya sebagai produk samping. Memiliki kemampuan menahan kelembaban tanah dan menekan penyebaran gulma, namun karena merupakan limbah hasil pertanaman, jerami juga dapat menjadi media persebaran benih gulma.
Kardus dan keras
Kardus dan kertas terbuat dari bahan dasar yang sama, yaitu pulp dari kayu, sehingga termasuk bahan organik dan dapat terurai secara alami. Karena sudah berbentuk lembaran, kardus dan kertas mudah diterapkan di atas tanah. Kardus dan kertas mampu menyerap air dan menekan pertumbuhan gulma. Namun karena massa yang ringan dibandingkan dengan luas permukaannya, kardus dan kertas dapat tertiup oleh angin, sehingga penerapannya memerlukan komponen kardus yang berat di atas lapisan yang ringan. Membasahinya dengan air juga dapat meningkatkan berat.[9]
Tandan kosong buah sawit
Proses pengolahan buah sawit menjadi minyak sawit menghasilkan limbah yang sangat besar. Limbah tersebut berupa tandan kosong dan cangkang buah sawit. Jika tidak dijadikan bahan bakar, keduanya diberikan kembali secara langsung ke tanaman sawit sebagai mulsa. Secara perlahan, limbah sawit tersebut akan terdekomposisi dan menyatu dengan tanah.[7]

Penerapan

Mulsa umumnya diterapkan menjelang musim tanam. Mulsa anorganik, terutama yang mudah rusak seperti plastik harus diganti setiap musim tanam. Mulsa organik dapat bertahan lama tergantung laju dekomposisinya, dan dapat diterapkan ulang jika diperlukan. Seiring dengan perubahan musim, mulsa menjaga temperatur dan kelembaban tanah, serta mencegah cahaya matahari menyentuh gulma yang baru bertunas.[2]

Efek mulsa pada tanah di iklim sedang amat bergantung pada kapan mulsa diterapkan. Mulsa umumnya diterapkan di akhir musim semi atau awal musim panas ketika temperatur tanah sedang meningkat namun kelembaban tanah masih relatif tinggi, sehingga fungsi menjaga temperatur dan kelembaban tanah lebih optimal.[9] Mulsa juga dapat mengalihkan beberapa jenis hama seperti siput dari daun tumbuhan karena siput dapat memakan mulsa dedaunan.

Dekomposisi anaerobik

Mulsa yang sehat akan berbau seperti potongan kayu atau rumput segar, namun mulsa yang tidak sehat akan memiliki bau seperti amonia, cuka, sulfur, dan silase. Mulsa yang tidak sehat terjadi karena dekomposisi anaerobik di dasar mulsa. Dekomposisi anaerobik terjadi karena kurangnya oksigen, yang disebabkan oleh porositas mulsa yang terlalu sempit dan tingginya kandungan nitrogen pada mulsa lapisan bawah. Dekomposisi anaerobik ini dapat menyebabkan munculnya senyawa fitotoksik yang berbahaya bagi tumbuhan. Keasaman tanah juga menjadi tinggi. Pengadukan mulsa dapat mencegah hal tersebut.[10]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ RHS A-Z encyclopedia of garden plants. United Kingdom: Dorling Kindersley. 2008. hlm. 1136. ISBN 1405332964. 
  2. ^ a b Louise; Bush-Brown, James (1996), America's garden book, New York: Macmillan USA, hlm. 768, ISBN 0-02-860995-6 
  3. ^ http://www.eau.ee/~agronomy/vol07Spec 1/p7sI53.pdf
  4. ^ http://joa.isa-arbor.com/request.asp? JournalID=1&ArticleID=3111&Ty pe=2
  5. ^ Stout, Ruth. Gardening Without Work. Devon-Adair Press, 1961. Norton Creek Press, 2011, pp. 192-193. ISBN 978-0-9819284-6-3
  6. ^ Prahl, F. G., J. R. Ertel, M. A. Goni, M. A. Sparrow, and B. Eversmeyer. "Terrestrial Organic-Carbon Contributions to Sediments on the Washington Margin." Geochimica Et Cosmochimica Acta 58, no. 14 (Jul 1994): 3035-48.
  7. ^ a b Yunindanova, Mercy Bientri; Agusta, Herdhata; Asmono, Dwi (2010). "Tingkat Kematangan Kompos Tandan Kosong Sawit Dan Penggunaan Berbagai Mulsa Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) dan Cabai (Capsicum annuum L.)". Agronomy and Horticulture IPB. 
  8. ^ Bold, H.C. 1967. Morphology of Plants. second ed. Harper and Row, New York
  9. ^ a b Patrick Whitefield, 2004, The Earth Care Manual, Permanent Publications, ISBN 978-1-85623-021-6
  10. ^ Beware of Sour Mulch

Pranala luar



Sumber :
id.wikipedia.org, indonesia-info.net, wiki.program-reguler.co.id, dsb.