Suku Jawa di Aceh

Suku Jawa di Aceh adalah suku Jawa yang tinggal di provinsi Aceh, orang Jawa juga menyebut orang jawa di aceh dengan Jawa Sabrang Lor (jawa sebrang utara) diambil dari julukan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor karena meninggal saat bertempur bersama pasukan Kesultanan Aceh melawan portugis di Malaka, sebutan yang serupa juga dilabelkan kepada suku jawa di Sumatra Utara dengan Jawa Deli. Sebagian dari mereka telah bercampur dengan suku asli yang ada di Aceh baik dari garis nenek, kakek, bapak atau dari garis keturunan ibu dan sebagian lagi masih memiliki keturunan asli. Dari segi bahasa, bahasa Jawa masih dianggap salah satu dialek dari bahasa Jawa ngoko yang telah bercampur dengan bahasa-bahasa setempat sehingga tidak sama persis dengan bahasa Jawa ngoko di Jawa, walaupun keduanya masih bisa saling memahami. Tidak seperti masyarakat Jawa pada umumnya suku Jawa sudah tidak mengenal tingkatan bahasa (undhak-unduk basa) namun register tersebut ada pada intonasi suaranya.

Sejarah

Masa kesultanan

Kerjasama dan perpindahan penduduk secara tradisional sebelum kerajaan Sriwijaya dan Majapahit tidak banyak sumber yang didapatkan. Namun Pada tahun 1511, Portugis berkuasa di Malaka. Kerajaan Demak yang dipimpin Raden Patah mengirimkan pasukannya untuk mengusir Portugis. Pasukan Demak itu dipimpin oleh Pati Unus. Ia dibantu oleh armada dari Aceh. Usaha mengusir Portugis di Malaka ini gagal karena kalah persenjataan dan kekuatan pasukan, kekalahan ini menguras banyak persediaan , kapal banyak yang mengalami kerusakan serta banyaknya pasukan yang terluka, sebagai kamp pasukan terdekat, Aceh menjadi tempat persinggahan untuk memulihkan kekuatan dan banyak dari pasukan Demak tidak kembali ke Jawa dan mendirikan perkampungan seperti Gampong Jawa di Banda Aceh dan lainnya terutama di pesisir utara dan tengah Aceh seperti Aceh Besar, Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, Lhokseumawe, Aceh Utara, Langsa, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. Hal ini dibuktikan banyak kampung Jawa sudah berdiri sebelum adanya program transmigrasi tahun 1964.

Masa penjajahan

Berawal dari penakhlukan Sultan Iskandar Muda terhadap Kota Medan pada sekitar tahun 1612 M, bahwa juga diceritakan Sultan Iskandar Muda mendirikan kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Percut, Sigara-gara, Kota Rengas dan Kota Jawa yang ikut membuka kran perpindahan penduduk dari tanah Deli ke Aceh. Aceh sebagai daerah terakhir yang bisa ditaklukan penjajah yang diduduki secara de jure sejak Sultan Muhammad Dawud akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda tahun 1903, dan akhirnya Kesultanan Aceh runtuh tahun 1904, menjadi tempat pelarian yang aman oleh banyak pekerja paksa dari Deli yang sudah diduduki Belanda terlebih dulu.

Pasca runtuhnya Kesultanan Aceh tahun 1904, Belanda mulai mendirikan perkebunan seperti perkebunan kopi, tebu dan teh di Aceh yang banyak mendatangkan pekerja dari Jawa dan kebanyakan dari keturunannya masih menetap sampai sekarang dan dilanjutkan kemudian oleh penjajahan Jepang yang juga mendatangkan pekerja dari Jawa.

Setelah kemerdekaan

Program transmigrasi di Aceh yang pada 1964 dimulai dengan menempatkan 100 KK warga transmigran di Blang Peutek, Padang Tiji, Kabupaten Pidie. Namun, warga transmigran di kawasan kaki Gunung Seulawah Agam itu tidak bertahan lama. Ini disebabkan, karena setahun kemudian, 1965, terjadi tragedi nasional dengan meletusnya peristiwa G-30-S/PKI di Indonesia. Program transmigrasi di Pidie itu pun bubar. Lalu, sejumlah warga transmigran di situ meninggalkan UPT Blang Peutek, dan mereka pun eksodus dan mencari penghidupan baru di Saree, Aceh Besar. Sebagian di antaranya bahkan bekerja di PT Socfindo di Aceh Barat. Dan, sebagian lagi berpindah ke Sigli.

Transmigrasi di Aceh, setelah Blang Peutek, tidak lantas berhenti. Pada 1973 pembukaan kawasan baru pun dirintis di Aceh Utara. Lalu, pada tahun 1975/1976 program transmigrasi kembali hadir di Aceh dengan ditempatkan 300 KK warga transmigran di Cot Girek yang hampir bersamaan bilangan tahunnya dengan penempatanan petani tebu di Silih Nara dan karyawan Pabrik Gula Mini (PGM) Silih Nara yang didatangkan pekerja dari Pulau Jawa.

Ketransmigrasian di Aceh telah memacu lahirnya sentra sentra produksi dan sentra ekonomi baru. Ini adalah dampak positif akibat keterpaduan pembangunan multisektor di sebuah daerah. Lahirnya kawasan ekonomi Patek (Aceh Jaya), Janthoe (Aceh Besar), Jagong Jeget (Aceh Tengah), Trumon (Aceh Selatan), Peunaron (Aceh Timur), Subulussalam, dan lainnya.

Penyebaran

Hasil sensus penduduk tahun 2009 menunjukkan suku Jawa sebesar 400.023 jiwa di seluruh Aceh.[1]. Penyebarannya tidak semuanya terkonsentrasi kecuali yang didatangkan melalui program transmigrasi seperti kawasan ekonomi Patek (Aceh Jaya), Janthoe (Aceh Besar), Jagong Jeget (Aceh Tengah), Trumon (Aceh Selatan), Peunaron (Aceh Timur), Subulussalam, dan banyak perkampungan yang sudah ada sebelum adanya program transmigrasi.

Bahasa

Bahasa Jawa tetap digunakan dengan berasimilasi dengan bahasa lokal yang ada di Aceh. Tidak banyak perubahan cuma beberapa konsonan dan vokal dan sedikit dialeknya yang telah menyesuaikan dengan bahasa lokal dan telah hilangnya letupan dental /b, /d, /th seperti layaknya orang Jawa di pulau Jawa. Dari segi bahasa, diperkirakan masih merupakan dialek Bahasa Jawa. Namun, akibat pengaruh proses asimilasi kebudayaan yang cukup lama, kebanyakan dari suku Jawa, terutama yang tinggal pada mayoritas suku lokal sudah tidak bisa berbahasa Jawa lagi namun sudah menggunakan bahasa suku lokal di daerahnya, seperti menggunakan Bahasa Gayo, Aceh dan lain sebagainya.

Lihat Pula

Referensi

Pranala luar

Orang Jawa (ꦮꦺꦴꦁꦗꦮ wong Jawa, ꦠꦶꦲꦾꦁꦗꦮꦶ tiyang Jawi)
 
 


Sumber :
wiki.pahlawan.web.id, id.wikipedia.org, perpustakaan.web.id, dsb.