Halim Perdanakusuma

Halim Perdanakusuma
Lahir18 November 1922
Sampang, Madura, Jawa Timur, Hindia Belanda
Meninggal14 Desember 1947
Lumut, Perak, Uni Malaya
DimakamkanTaman Makam Pahlawan Kalibata
PengabdianHindia Belanda (kr. 1940 – 1945)
Indonesia (1945–1947)
Dinas/cabangAngkatan Laut Hindia Belanda
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara
Lama dinaskr. 1940 – 1947
PangkatMarsda
PenghargaanPahlawan Nasional Indonesia

Abdul Halim Perdanakusuma (lahir di Sampang[1], 18 November 1922 – meninggal di Malaysia, 14 Desember 1947 pada umur 25 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia meninggal dunia saat menjalankan tugas semasa perang Indonesia - Belanda di Sumatera, yaitu ketika ditugaskan membeli dan mengangkut perlengkapan senjata dengan pesawat terbang dari Thailand.

KRI Abdul Halim Perdanakusuma

Sebelum Indonesia Merdeka

Royal Canadian Air Force dan Royal Air Force pernah mencatat nama seorang pemuda Indonesia sebagai anggotanya. Dengan pangkat Wing Commander, pemuda tersebut telah melakukan tugas-tugas navigasi dan tempur selama Perang Dunia II di Eropa dan Asia. Tidak kurang dari 44 kali ia melakukan tugas penerbangan (flight mission) dengan menggunakan pesawat Lancaster atau Liberator. Di Eropa sasarannya adalah daerah Perancis dan Jerman, sedangkan pangkalan operasinya terletak di Inggris. Di Asia sasarannya adalah daerah Asia Tenggara termasuk Indonesia, sedangkan pangkalan operasinya terletak di Colombo (Srilangka). Setiap kali pula ia berhasil ke pangkalannya setelah melakukan tugas-tugasnya dengan berhasil baik.

Di luar tugas-tugas tempur yang menuntut tugas sikap tegas, dan hampir-hampir tidak mengenal belas kasihan, ia adalah seorang pemuda yang menarik. Sikapnya yang ramah, tutur katanya yang baik dan rendah hati memberikan gambaran yang cukup kontras dengan sikap yang harus dilakukannya ketika pesawat-pesawatnya harus menjatuhkan bom-bom di daerah musuh. Dalam kesibukan tugas sebagai navigator, pemuda ini masih menyempatkan diri untuk mengirim hadiah ulang tahun kepada istri melalui seorang temannya. Pemuda yang bertubuh kurus dan agak tinggi itu bernama Halim Perdanakusuma.

Halim Perdanakusuma, dilahirkan pada tanggal 18 November 1922 di Sampang Madura, pulau yang terkenal karena garam dan karapan sapi itu. Ayahnya, Haji Abdul Gani Wongsotaruno adalah Patih Sumenep. Karena itu tidaklah mengherankan bila si ayah mengharapkan agar putra ketiga dari lima bersaudara itu kelak mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang pamongpraja. Sifatnya yang ramah dan periang, menyebabkan Halim banyak memperoleh sahabat. Selain itu ia juga memiliki perasaan halus yang tercermin dalam kesenangannya kepada musik dan seni lukis. Di bidang seni musik ia dikenal sebagai pemain biola yang cukup memukau. Lukisan yang banyak dibuatnya memberikan kesan bahwa ia memiliki bakat di bidang ini.

Pendidikannya diawali dengan memasuki HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Sumenep pada tahun 1928 dan tamat tahun 1935. Setelah tamat ia melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Surabaya. Pada tahun 1938 ia sudah memperoleh ijazah MULO. Sejak sekolah ia sudah diarahkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang pamongpraja. Karena itu setelah ia menamatkan MULO ia langsung dikirim ke Magelang, menempuh pendidikan pada MOSVIA (Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren = Sekolah Pendidikan untuk Pegawai Pangrehpraja Hindia).

Ternyata harapan si ayah tidak terkabul. Halim sebenarnya tidak membantah keinginan itu dan ia pun cukup pandai untuk menerima setiap pelajaran yang diberikan kepadanya. Tetapi perubahan situasi menyebabkan Haji Abdul Gani tidak sempat melihat anaknya menjadi seorang pegawai pemerintah. Menjelang akhir tahun 1939 di Eropa pecah Perang Dunia II. Bulan Mei 1940 negeri Belanda diduduki Jerman. Pemerintah Hindia Belanda segera mengumumkan milisi umum di Indonesia untuk menghadapi kemungkinan menjalarnya perang ke wilayah ini.

Ketika itu Halim masih duduk di tingkat dua MOSVIA. Sebagai seorang pemuda ia tidak luput dari kewajiban milisi itu. Angkatan Laut Hindia Belanda menentukan tempat baginya yaitu pendidikan opsir torpedo di Surabaya. Tetapi pendidikan ini tidak sampai diselesaikannya. Akhir tahun 1941 Jepang menjamah wilayah Pasifik. Tanggal 8 Desember 1941 Jepang menyerang Pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbor. Sesudah itu mereka mengarahkan ancamannya ke Indonesia, wilayah yang memiliki bahan mentah yang sangat penting bagi keperluan perang itu. Angkatan Perang Hindia Belanda tidak mampu menandingi keunggulan Angkatan Perang Jepang. Tanggal 8 Maret 1942 Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Jawa Barat.

Sebelum penyerahan tanpa syarat terjadi, Halim beserta seluruh staf dan siswa pendidikan Opsir Angkatan Laut Hindia Belanda telah dipindahkan ke Amerika Serikat. Di tempat yang baru ini ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan militernya. Ia pindah mengikuti pendidikan pada Royal Canadian Air Forces sebagai peninjau.

Tugas-tugas yang dilakukan Halim selaku penerbang Angkatan Laut, banyak terpusat di Eropa. Di benua inilah ia memperoleh kematangan jiwa dan pengalaman yang kelak disumbangkan bagi bangsa dan negaranya.

Setelah Indonesia Merdeka

Sesudah perang berakhir, ia kembali ke Indonesia. Ia tidak lagi menemui kekuasaan asing di wilayah ini. Sebuah negara baru sudah berdiri. Suatu pemerintahan yang dipimpin oleh bangsanya sendiri, giat membenahi diri. Tetapi pemerintahan itu pun sedang menghadapi tantangan dari kekuatan luar yang ingin kembali menegakkan kekuasaannya yang lama.

Dalam suasana demikian, tidak sulit bagi Halim untuk mencari tempat di tengah-tengah bangsanya. Pengalamannya memberikan arah ke tempat yang harus dipilihnya. Pada saat itu pula S. Suryadarma dibantu oleh beberapa tenaga lain seperti Agustinus Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh, sedang sibuk membangun kekuatan udara. Kedatangan Halim Perdanakusuma di tanah air diketahui oleh S. Suryadarma. Seorang utusan, Kapten Udara Arifin Marzuki yang kebetulan adalah adik ipar Halim, dikirim untuk menemuinya. Utusan itu membawa pesan Suryadarma mengajak Halim untuk turut menyumbangkan tenaganya membangun kekuatan udara. Ajakan itu diterima dengan senang hati. Halim segera berangkat ke Yogyakarta dan sejak saat itu mulailah kesibukannya membina TKR Jawatan Penerbangan.

Sesuai dengan keahlian dan pengalaman yang dimilikinya, Halim diserahi tugas sebagai Perwira Operasi. Ia bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas operasi udara. Tugas itu meliputi banyak bidang, antara lain menembus blokade udara Belanda, mengatur siasat serangan udara atas daerah lawan, operasi penerjunan pasukan di luar Jawa dan penyelenggaraan operasi penerbangan dalam rangka pembinaan wilayah.

Disamping itu, ia diserahi pula tugas sebagai instruktur navigasi di Sekolah Penerbangan yang didirikan dan dipelopori oleh Agustinus Adisutjipto. Halim tidak mungkin menyamakan keadaan sekolah itu dengan keadaan sekolah sejenis yang pernah dimasukinya di Royal Canadian Air Forces. Di situ ia belajar dengan fasilitas yang serba lengkap. Tetapi di tanah airnya ketika itu, mengharapkan fasilitas yang demikian tak ubahnya seperti ‘minta tanduk kepada kuda’.

Sekolah Penerbang itu masih bersifat serba darurat. Tenaga Instruktur kurang, begitu pula fasilitas lainnya. Pesawat yang digunakan untuk latihan ialah pesawat latih lanjut Cureng, peninggalan Jepang. Tanda-tanda instrument tertulis dalam huruf kanji. Dari segi fisik, pesawat itu sudah tergolong tua. Tetapi untunglah, baik instruktur maupun pelajar tidak lekas putus asa. Kekurangan fasilitas tidak menjadi hambatan yang menyebabkan pelajaran terganggu. Semangat untuk mempertahankan negara ternyata mampu mengalahkan kesulitan yang dihadapi. Bila dikehendaki oleh situasi, dan hal itu seringkali terjadi, para kadet belajar terbang sambil melakukan tugas operasi. Demikian pula instrukturnya, sambil memberikan pelajaran sekaligus melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pembinaan organisasi.

Salah satu tugas yang dibebankan ke Angkatan Udara pada waktu itu ialah membawa para pejabat yang akan melakukan perundingan dengan pihak Serikat di Jakarta tentang pengangkutan tawanan perang dan kaum interniran. Kesempatan itu sekaligus ingin dimanfaatkan untuk mengembangkan sayap tanah air dalam rangka pembinaan wilayah udara di daerah-daerah. Tanggal 23 April 1946 tiga buah pesawat Tachikawa 98 Cukiu tinggal landas dari Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta menuju Jakarta. Ketiga pesawat tersebut berhasil mendarat di lapangan terbang Kemayoran - Jakarta, setelah menempuh penerbangan selama satu jam empat puluh lima menit. Pesawat yang ditumpangi Komodor Muda Udara Halim mengalami kerusakan pada alat pendaratnya. Tetapi penerbang dan penumpangnya selamat. Dalam pesawat itu Halim bertindak sebagai navigator.

Esok harinya, dari Jakarta dilakukan terbang formasi 3 pesawat ke Lapangan Terbang Gorda di Banten kemudian lewat Selat Sunda penerbangan dilanjutkan ke Sumatera Selatan. Karena keadaan cuaca sangat buruk, pesawat tidak dapat melanjutkan perjalanan dan kembali ke Banten. Sesudah beristirahat di Banten, ketiga pesawat itu kembali ke Yogyakarta.

Penerbangan formasi tidak hanya terbatas dilakukan ke jurusan barat saja, melainkan ke segala jurusan. Yang menarik perhatian di antara penerbangan ini adalah penerbangan yang untuk pertama kali dilakukan ke pulau Madura tanggal 12 Mei 1946. Penerbang adalah Opsir Udara I. H. Sujono dan Navigator adalah Halim. Berhubung lapangan terbang di pulau Madura belum disiapkan, maka mereka terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah lapangan pembuatan garam. Setelah ke Madura, Halim kembali melakukan penerbangan ke arah barat yaitu ke Sumatera Selatan. Pada tanggal 20 September 1946 bersama pilot Opsir II Imam Suwongso Wirjosaputro berangkat dari Yogayakarta menuju Pangkalan Udara Karang Endah, dekat Palembang untuk meresmikan pembukaan pangkalan tersebut.

Agresi Militer I Belanda

Menghadapi Agresi Militer I Belanda, AURI tidak tinggal diam. Agresi militer ini dilancarkan Belanda pada hari Minggu tanggal 21 Juli 1947. Mereka memulai aksinya dengan melakukan pemboman dan penyerangan dari udara secara serentak terhadap semua pangkalan udara Republik Indonesia sehingga banyak menimbulkan kerusakan. Hanya lapangan terbang Maguwo Yogyakarta, pada hari itu terhindar dari serangan musuh karena tertutup kabut tebal. Seluruh rangkaian pangkalan udara yang memanjang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur mendapat gilirannya.

Mereka menjatuhkan bom-bom ringan dan roket, menyerang dengan senapan mesin dan meriam terhadap lapangan terbang Gorda dekat Serang, Kalijati dekat Subang, Cibeureum dekat Tasikmalaya, Panasan dekat Solo, Maospati dekat Madiun dan Jatiwangi dekat Lumajang. Lapangan terbang Bugis dekat Malang mengalami kerusakan paling berat. Sejumlah besar pesawat terbang dihancurkan di landasan oleh pesawat-pesawat tempur musuh. Dengan demikian seolah-olah Angkatan Udara RI telah lumpuh. Untuk menunjukan kepada dunia luar bahwa AURI masih hidup, selaku perwira operasi, Komodor Muda Udara Halim Perdanaksuma mendapat perintah untuk menyusun serangan balasan terhadap lawan. Setelah rencana tersusun dengan baik ditetapkan hari H dan Jam J nya.

Demikianlah, pada tanggal 29 Juli 1947 pukul 05.00 pagi, tiga buah pesawat telah disiapkan di lapangan terbang Maguwo untuk melakukan serangan udara. Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara S. Suryadarma ikut melepas keberangkatannya. Mula-mula lepas landas pesawat Mitsubishi 98 Guntei jenis pembom penyelundup dengan penerbang Muljono dan penembak Abdulrachman menuju sasaran Semarang. Pesawat dilengkapi dengan senapan mesin dan beberapa buah bom seberat 40 kg.

Kemudian menyusul 2 buah pesawat Cureng masing-masing dengan penerbang Suharnoko Harbani dan penembak udara Kaput menuju sasaran Ambarawa dan sebuah lagi dengan penerbang Sutardjo Sigit dan penembak udara Sutardjo dengan sasaran Salatiga. Tiap-tiap pesawat dilengkapi dengan dua buah bom seberat 50 kg yang diletakkan di kiri dan kanan sayap pesawat bagian bawah, ditambah dengan satu peti peluru mortar seberat 15 kg. Misi serang udara atas daerah pendudukan musuh ini berhasil mencapai target seperti apa yang direncanakan dan semuanya kembali ke pangkalan dengan selamat.

Selain itu, pada waktu dilakukan operasi penerjunan pasukan payung ke Kalimantan, Halim selaku Perwira Operasi banyak memberikan andil dalam pelaksanaannya. Operasi ini dilakukan pada tanggal 17 Oktober 1947 dengan menggunakan pesawat Dakota RI-002 dan berhasil dengan baik.

Agresi Militer I Belanda sangat dirasakan akibatnya oleh Republik Indonesia. Untuk menembus blokade Belanda terhadap daerah Republik Indonesia, telah ditempuh berbagai cara. Salah satunya adalah lewat udara. Republik Indonesia berhasil menarik simpati dunia luar antara lain dengan datangnya pesawat-pesawat asing ke Indonesia. Selain itu dirasakan pula betapa pentingnya perhubungan antara Jawa dan Sumatera. Keduanya merupakan daerah terpisah yang harus dapat terhubung satu sama lain. Baru pada tahun 1947 dilakukan usaha nyata ke arah itu.

Pesawat-pesawat bermotor satu buatan Jepang tidak sesuai untuk Sumatera. Daerahnya masih berhutan rimba luas, jarak satu kota dengan kota lainnya jauh, penduduk jarang dan jalan-jalan buruk. Berhubungan dengan itu pada permulaan tahun 1947 disewa sebuah pesawat pengangkut Dakota dari luar negeri. Ibukota Sumatera waktu itu Bukittinggi harus mempunyai hubungan langsung dengan Yogyakarta. Sesudah lapangan terbang disiapkan secara gotong royong oleh rakyat, tepat pada hari yang telah ditentukan mendarat sebuah pesawat Dakota yang pertama di Bukittinggi.

Namun dengan suasana politik, perhubungan udara itu tidak dapat diselenggarakan secara tetap. Karena kesulitan perhubungan itu konsolidasi di lingkungan AURI sulit pula dilaksanakan. Namun oleh Pemimpin Tertinggi Tentara telah digariskan, bagaimanapun juga AURI harus dibangun di Sumatera. Keputusan ini diambil mengingat situasi politik semakin genting, dimana Belanda sewaktu-waktu dapat merebut dan menduduki pangkalan-pangkalan udara yang berada di Jawa. Apabila hal tersebut terjadi, maka Sumatera dijadikan basis perjuangan dan persiapan ke arah itu harus dilakukan jauh-jauh sebelumnya.

Tugas untuk membangun AURI di Sumatera dipercaya kepada Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Beliau sangat erat berhubungan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Pendapat dan sarannya tentang Angkatan Udara sering diminta oleh Jenderal Soedirman. Pemerintah menugaskan Halim ke Sumatera dan diangkat sebagai pejabat AURI di Komandemen Tentara Sumatera. Selama melaksanakan tugas, Halim berhasil menjalin kerjasama dengan Panglima Tentara di Sumatera dan masyarakat di daerah itu. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil menghimpun dana berupa emas dari rakyat untuk kemudian digunakan membeli pesawat. Salah satu bukti hasil pengumpulan dana adalah dengan berhasil dibelinya sebuah pesawat Avro Anson dengan registrasi VH-BBY. Pesawat itu dibeli dengan harga 12 kg emas murni yang kemudian diberi nomor registrasi RI-003.

Usaha pembinaan ke luar dan ke dalam terus ditingkatkan. Setelah Bukittinggi menyusul perbaikan beberapa buah pangkalan lain. Satu konsep yang akan dipakai sebagai dasar bagi pembangunan AURI khususnya di Sumatera telah disusunnya pula. Juga usaha membuka hubungan dengan luar negeri untuk mendapatkan bantuan senjata dan logistik lainnya untuk keperluan perjuangan, terus dilakukan.

Gugur dalam tugas

Dalam kaitan usaha mencari bantuan ke luar negeri, Halim bersama Opsir Udara I Iswahjudi pergi ke Bangkok pada bulan Desember 1947.

Ia bertolak ke Bangkok dengan menggunakan pesawat Avro Anson VH-BBY (RI-003) dengan penerbang Iswahjudi dan seorang penumpang bernama Keegan berkebangsaan Australia yang telah menjual pesawat tersebut. Selain mengantarkan Keegan pulang, misinya adalah untuk melakukan penjajakan lebih jauh tentang kemungkinan pembelian senjata dan pesawat serta melakukan inspeksi terhadap perwakilan RI mengatur penukaran dan penjualan barang-barang yang berhasil dikirim dari dalam negeri dan kemudian memasukan barang Singapura ke daerah RI menembus blokade Belanda.

Setelah menyelesaikan tugas di Bangkok, RI-003 kembali berangkat menuju Singapura. Dalam perjalanan kembali inilah tiba-tiba di daerah Perak - Malaysia pesawat tersebut terjebak dalam cuaca buruk. Pesawat jatuh di Pantai Tanjung Hantu Perak - Malaysia. Laporan pertama tentang kecelakaan diterima oleh polisi Lumut dari 2 orang warga Cina penebang kayu bernama Wong Fatt dan Wong Kwang sekitar pukul 16.30 tanggal 14 Desember 1947.

Seorang petugas kepolisian berkebangsaan Inggris bernama Burras segera pergi ke tempat musibah. Baru pada pukul 18.00 ia tiba di lokasi kejadian. Ia tidak menemukan sesuatu, air sedang pasang naik. Baru pada keesokan harinya Kepala Polisi Lumut bernama Che Wan dan seorang anggota Polisi Inggris bernama Samson berangkat ke tempat kecelakaan dan tiba pukul 09.00. Kepadanya kemudian dilaporkan tentang ditemukan sesosok jenazah yang mengapung beberapa ratus yards dari lokasi reruntuhan pesawat, yang oleh para nelayan setempat dibawa ke darat. Juga ditemukan barang-barang lain diantaranya sebuah dompet, buku harian pesawat, kartu-kartu nama, sarung pistol yang tidak ada pistolnya, sarung pisau dengan nama Keegan di atasnya, dan beberapa potong pakaian.

Jenazah kemudian dibawa ke rumah sakit Lumut untuk dilakukan pemeriksaan. Berdasarkan bukti yang ada dapat dipastikan bahwa jenazah ini adalah jenazah Halim Perdanakusuma. Sedangkan nasib Iswahjudi hingga sekarang tidak ditemukan jenazahnya. Berita tentang kecelakaan pesawat RI-003 ini segera tersiar luas, di antaranya dimuat dalam surat-surat kabar berbahasa Inggris seperti The Times dan Malay Tribune terbitan tanggal 16 Desember 1947.

Banyak tokoh politik dan tokoh masyarakat Malaya menaruh perhatian terhadap peristiwa tersebut. Lebih-lebih mereka yang menaruh simpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Di antaranya adalah Ketua Partai Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM) bernama Ishak Haji Muhammad (Pak Sako) yang kebetulan sedang berada di Ipoh. Setelah mendengar berita tersebut ia segera mengirim telegram kepada Ketua Cabang PKMM Didings bernama Nuruddin Tak untuk memberikan bantuan. Dengan diketuai Nuruddin Tak dibentuk sebuah panita pemakaman. Panitia segera menghubungi polisi Lumut untuk meminta izin mengadakan upacara pemakaman. Karena sebagian besar terdiri atas anggota PKMM, polisi Lumut yang sebagian besar terdiri atas orang Inggris mencurigai usaha itu. (PKKM adalah satu organisasi politik yang menuntut kemerdekaan lepas dari tangan Inggris).

Lewat suatu perdebatan, akhirnya izin diberikan dengan syarat tidak boleh diadakan secara besar-besaran. Karena di Lumut belum ada makam orang-orang Islam, maka panitia mencari daerah lain. Daerah tersebut adalah Teluk Murok terletak sekitar 5 km dari Lumut. Pada tanggal 19 Desember 1947 dilakukan upacara pemakaman menurut agama Islam. Dr. Utojo wakil RI di Singapura tiba di Lumut. Beliau terlambat datang karena di beberapa tempat Malaya bagian barat sedang dilanda banjir. Di sekitar tempat kecelakaan, Dr. Utojo menemukan sebuah kipas dan pecahan piring, mangkok yang tersebar di tempat kecelakaan. Kemungkinan semua itu adalah oleh-oleh untuk keluarga di rumah.

Dengan gugurnya Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma berarti bangsa dan negara harus merelakan seorang putra terbaiknya. Khususnya bagi Angkatan Udara berarti kehilangan seorang prajurit navigatornya yang cakap dan berpengalaman, yang justru sangat diperlukan pada saat itu. Lebih-lebih almarhum adalah salah satu dari 2 orang navigator yang dimiliki Angkatan Udara pada saat itu. Hilangnya almarhum berarti pula hilangnya seorang Perwira Operasi Angkatan Udara yang cepat dalam melakukan perencanaan, tegas dalam tindakan dan cepat dalam mengambil keputusan. Juga dengan gugurnya Halim berarti kehilangan salah satu pimpinan Angkatan Udara yang berani, penuh disiplin, bertanggung jawab dan disenangi baik oleh rekan maupun oleh bawahannya.

Halim meninggalkan seorang isteri bernama Koessadalina dan seorang anak laki-laki bernama Ian Santoso. Nama itu diberikan sebagai kenang-kenangan terhadap sahabat karibnya, seorang Wing Commander berkebangsaan Scotlandia yang gugur dalam Perang Dunia II sewaktu melakukan tugas penerbangan bersama Halim. Sebagai putra ketiga dari lima bersaudara, Halim mempunyai dua orang kakak dan dua orang adik. Salah seorang adiknya adalah Makki Perdanakusuma, Marsekal Muda TNI.

Penghargaan dan Penghormatan

Sebagai penghargaan atas jasa dan pengabdiannya terhadap Angkatan Udara maka pimpinan TNI Angkatan Udara menaikkan pangkatnya menjadi Laksamana Muda Udara (sekarang Marsekal Muda Udara) Anumerta. Untuk mengabadikan namanya, pada tanggal 17 Agustus 1952 nama Pangkalan Udara Cililitan diubah menjadi Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Pemerintah Indonesia juga mengabadikan namanya pada kapal perang KRI Abdul Halim Perdanakusuma.

Tanggal 15 Februari 1961, bersama-sama dengan penganugerahan bintang jasa kepada almarhum Prof. dr. Abdulrachman Saleh, Halim Perdanakusuma memperoleh Bintang Mahaputra tingkat IV. Penghargaan tertinggi diberikan pemerintah berupa gelar Pahlawan Nasional.

Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November 1975, kerangka jenazah almarhum yang bersemayam di Malaysia, dipindahkan dan dimakamkan kembali dengan upacara kemiliteran di tempat yang lebih layak, yakni di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Lebih dari semua penghargaan itu, Abdul Halim Perdanakusuma telah mendapat tempat di hati bangsa.

Referensi



Di bawah ini adalah daftar lengkap dan resmi 163 tokoh yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Politik
Abdul Halim · Achmad Soebardjo · Adam Malik · Adenan Kapau Gani · Alimin · Andi Sultan Daeng Radja · Arie Frederik Lasut · Djoeanda Kartawidjaja · Ernest Douwes Dekker · Fatmawati · Ferdinand Lumbantobing · Frans Kaisiepo · Gatot Mangkoepradja · Hamengkubuwana IX · Herman Johannes · Idham Chalid · Ida Anak Agung Gde Agung · Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono · I Gusti Ketut Pudja · Iwa Koesoemasoemantri · Izaak Huru Doko · J. Leimena · Johannes Abraham Dimara · Kusumah Atmaja · L. N. Palar · Mangkunegara I · Maskoen Soemadiredja · Mohammad Hatta · Mohammad Husni Thamrin · Moewardi · Teuku Nyak Arif · Nani Wartabone · Oto Iskandar di Nata · Radjiman Wedyodiningrat · Rasuna Said · Saharjo · Samanhudi · Soekarni · Soekarno · Sukarjo Wiryopranoto · Soepomo · Soeroso · Soerjopranoto · Sutan Syahrir · Syafruddin Prawiranegara · Tan Malaka · Tjipto Mangoenkoesoemo · Oemar Said Tjokroaminoto · Wahid Hasjim · Zainul Arifin
Militer
Kemerdekaan
Revolusi
Pergerakan
Sastra
Seni
Pendidikan
Integrasi
Pers
Pembangunan
Agama
Perjuangan


Sumber :
wiki.kurikulum.org, id.wikipedia.org, civitasbook.com (Ensiklopedia), dsb.