Suku Dayak Mayau

Suku Dayak Mayau (kode bahasa: SCG) merupakan sub-suku Dayak yang mendiami 7 kampung yang tersebar di Kecamatan Bonti, Sanggau, Kalimantan Barat . Suku dayak Mayau termasuk rumpun suku dayak bidayuh yang sebagian besar terdapat di distrik kabupaten Sanggau, suku ini terdiri dari tujuh buah kampung. Dayak Mayau sendiri diambil berdasarkan letak geografis didaerah tersebut yang diambil dari sebuah sungai di daerah tersebut yaitu, sungai Mayau. Pemukiman suku dayak Mayau atau sering mereka menyebut identitas mereka dengan menyebut diri mereka sendiri "Bidoih Mayau" yang artinya orang darat atau suku dayak darat dari Mayau.

Asal mula

Menurut Lukas Kibas dalam bukunya "Bidoih Mayau" bahwa suku dayak Mayau berasal dari wilayah sambas (persisnya tidak diketahui) yang terdesak oleh orang-orang pantai (suku Melayu)sehingga mereka mencari wilayah yang baru ke daerah pedalaman. Akhirnya mereka sampai juga pada suatu tempat yang cocok dan subur untuk bertani maka mereka mendirikan pemukiman awal persisnya sekarang terletak gunung sebomban atau munkin pula kampung ini bernama sebomban pemukimannya dekat dengan sungai Mayau yang kelak akhirnya kampung ini terkubur dan menjadi sebuah bukit akibat tulah dan menjadi legenda bagi masyarakat suku dayak Mayau.


Legenda Bukit Sebomban

Pada suatu masa hiduplah seorang nenek dengan cucunya mereka tinggal di dalam hutan jauh dari perkampungan di sebuah gubuk reot. Mereka hidup dikucilkan oleh orang kampung karena orang kampung tidak suka melihat mereka berdua. Sang nenek dan si cucu hidup dari hasil hutan (food gathering) dengan peranti dan perkakas apa adanya. Cerita ini bermula ketika orang kampung mengadakan pesta gawai panen padi selama tujuh hari tujuh malam karena panen yang mereka dapat tahun ini melimpah ruah. Mereka mengundang kampung tetangga dari keempat penjuru untuk pergi ke pesta gawai yang diadakan oleh orang kampung, tapi satu kesalahan yang orang kampung buat yaitu tidak turut mengundang sang nenek dan sang cucu (karena adat istiadat pada zaman itu apabila mengadakan gawai semua orang harus diundang ke dalam pesta tersebut kalau tidak akan mendapat petaka). Pada suatu hari pergilah sang cucu tersebut ke kampung karena mendengar kabar bahwa orang kampung mengadakan pesta gawai dari orang-orang kampung tetangga berangkat ke pesta gawai. Si cucu maklumlah masih kecil maka dia pun berangkat menghadiri pesta tersebut tetapi sesampai di sana bukannya kemeriahan yang dia dapat tetapi si cucu mendapat perlakuan yang kasar dari orang kampung, dicemooh dan diusir. Dengan perasaan sedih dia pulang menemui neneknya dan menceritakan perlakuan orang kampung kepada neneknya. Sang nenek terenyuh hatinya mendengar cerita cucunya karena kasihan kepada cucunya lalu sang nenek menyuruh sang cucu kembali lagi ke kampung siapa tahu ada orang kampung yang masih menaruh perhatian kepada mereka. Akhirnya sang cucu pun menuruti keinginan neneknya untuk kembali ke kampung tapi apa yang terjadi perlakuan orang kampung sama seperti yang sudah-sudah malahan lebih kasar lagi layaknya seperti binatang dengan memberi si cucu tersebut dengan daging yang terbuat karet (latek) yang rasanya hambar dan alot. Si cucu membawa daging tersebut pulang kepada neneknya, sesampai di gubuk si cucu menyerahkan daging pemerian orang kampung tersebut kepada neneknya dan nenek itu memakan daging pemerian si cucu tetapi daging tersebut alot untuk dimakan dan setelah tahu bahwa daging pemerian dari orang kampung tersebut palsu maka murkalah sang nenek dan berkata "Celakalah orang kampung karena telah memperlakukan kita seperti binatang" geramnya. Lalu sang nenek menyuruh si cucu untuk pergi kepada orang kampung dengan membawa anak kucing yang didandani layaknya seperti manusia dengan sarung parang dipinggangnya dan menyuruh melepaskan anak kucing tersebut di tengah orang ramai. Si cucu pun mengikuti perintah sang nenek dan melaksanakan apa yang diperintahkan sang nenek si cucu melepaskan anak kucing tersebut ke tengah orang ramai dan ketika orang ramai tersebut melihat anak kucing tersebut sontak orang ramai tersebut meneriaki, mengolok, menertawakan, dan mencemooh anak kucing tersebut. Tak lama kemudian tiba-tiba langit berubah mendung dan gelap petir menyambar dimana-mana hujan batu pun turun seketika itu juga perkampungan tersebut berubah menjadi sebuah bukit yang diberi nama bukit sebomban dan sampai sekarang oarang Mayau masih memegang kepercayaan bahwa pamali menertawakan binatang terutama kucing.

Geografi dan alam suku Dayak Mayau Pada umumnya di lihat dari kontur muka bumi wilayah kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau Kalimantan barat ini terdiri dari sebagian besar perbukitan, kemudian didominasi oleh rawa-rawa.Wilayah ini dialiri oleh Sungai Sekayam dan dikelilingi oleh perbukitan-perbukitan yang mengurung wilayah Bonti. Hutan hujan tropis masih mendominasi tetapi pada akhir-akhir ini perkebunan sawit mulai merambah masuk dan hutan hujan tropis mulai berkurang di beberapa tempat tak terkecuali di wilayah Ketemenggungan Suku Dayak Mayau, bukan hanya perkebunan kelapa sawit juga akhir-akhir ini HPH dan peti (penambangan tanpa izin )juga ikut serta dalam pembabatan wilayah tersebut.

POMMA (Porugo' Macan Mayau)

Organisasi ini berdirikan pada tahun 2005. Tujuannya adalah untuk memperkuat kerja-kerja Ketemenggungan Bonua Mayau dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber penghidupan lainnya. Anggotanya adalah 7 kampung yang tersebar di Kecamatan Bonti Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat.

LKBM (Lembaga Ketemenggungan Bonua Mayau)

Didirikan pada Tahun 2000. Organisasi ini bertujuan untuk menghidupkan kembali Ketemenggungan Bonua Mayau yang mampu mempertahankan kawasan adat dan melakukan pemberdayaan adat istiadat dan hukum adat. 7 kampung masuk dalam organisasi ini.



Sumber :
wiki.kurikulum.org, id.wikipedia.org, civitasbook.com (Ensiklopedia), dsb.