Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) adalah cikal bakal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga tertinggi negara Republik Indonesia. MPRS dibentuk berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden RI Soekarno.

Periode 1960 - 1965

Susunan MPRS diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, sebagai berikut:

  1. MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
  2. Jumlah Anggota MPRS ditetapkan oleh Presiden.
  3. Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
  4. Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
  5. MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.

Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.

Susunan pimpinan

Sidang Umum I MPRS (1960)

Sidang Umum Pertama MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 10 November - 7 Desember 1960. Sidang Umum Pertama MPRS ini menghasilkan dua ketetapan, yaitu:

  1. Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara;
  2. Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.

Sidang Umum II MPRS (1963)

Sidang Umum Kedua MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 15 Mei - 22 Mei 1963. Sidang Umum Kedua ini menghasilkan dua ketetapan, yaitu:

  1. Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup;
  2. Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.

Sidang Umum III MPRS (1965)

Sidang Umum Ketiga MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 11 - 16 April 1965. Sidang Umum Ketiga MPRS menghasilkan empat ketetapan, yaitu:

  1. Ketetapan MPRS Nomor V/MPRS/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di atas Kaki Sendiri yang lebih dikenal dengan "Berdikari" sebagai Penugasan Revolusi Indonesia dalam Bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program Perjuangan Rakyat Indonesia;
  2. Ketetapan MPRS Nomor VI/MPRS/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan;
  3. Ketetapan MPRS Nomor VII/MPRS/1965 tentang "Gesuri", "TAVIP" (Tahun Vivere Pericoloso), "The Fifth Freedom is Our Weapon" dan "The Era of Confrontation" sebagai Pedoman-pedoman pelaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia;
  4. Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Prinsp-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan.

Periode 1966 - 1972

Periode 1959-1965 adalah periode yang penuh pertentangan ideologi dalam sejarah kehidupan ketatanegaraan di Indonesia dan mencapai puncaknya pada tanggal 30 September 1965 yang ditandai dengan peristiwa G-30-S.

Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan. Lembaga MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.

Susunan pimpinan

  • Ketua : Dr. A.H. Nasution
  • Wakil Ketua : Osa Maliki
  • Wakil Ketua : H.M. Subchan Z.E.
  • Wakil Ketua : M. Siregar
  • Wakil Ketua : Mashudi

Sidang Umum IV MPRS (1966)

Sidang umum Keempat MPRS berlangsung di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 21 Juni sampai dengan 5 Juli 1966. Pada Sidang Umum Keempat ini, MPRS menghasilkan 24 ketetapan, yaitu:

  1. Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi /Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;
  2. Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang kedudukan Semua Lembaga-lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi Yang di Atur dalam Undang-undang Dasar 1945;
  3. Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum;
  4. Ketetapan MPRS Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia;
  5. Ketetapan MPR Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera;
  6. Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-panitia Ad Hoc MPRS yang bertugas melakukan penelitian Lembaga-lembaga Negara, Penyusunan Bagan Pembagian Kekuasaan di antara Lembaga-lembaga Negara menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945 dan Penyusunan Perincian Hak-hak Asasi Manusia;
  7. Ketetapan MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang pemilihan/ Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden;
  8. Ketetapan MPRS Nomor XVI/MPRS/1966 tentang pengertian Mandataris MPRS;
  9. Ketetapan MPRS Nomor XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi;
  10. Ketetapan MPRS Nomor XVIII/MPRS/1966 tetang Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963
  11. Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
  12. Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peratutan Perundangan Republik Indonesia;
  13. Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya Kepala Daerah;
  14. Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan.
  15. Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan;
  16. Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijakan dalam Bidang Pertahanan Keamanan;
  17. Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme;
  18. Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;
  19. ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan;
  20. Ketetapan MPRS Nomor XXVIII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat;
  21. Ketetapan MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera;
  22. Ketetapan MPRS Nomor XXX/MPRS/1966 tentang Pencabutan Bintang "Maha Putera" Kelas III dari D.N. Aidit;
  23. Ketetapan MPRS Nomor XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan "Paduka Yang Mulia" (P.Y.M) dengan sebutan "Bapak/Ibu" atau "Saudara/Saudari";
  24. Ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers.

Sidang Istimewa MPRS (1967)

Pada saat Presiden RI/Mandataris MPRS Soekarno menyampaikan pidato pertangungjawaban di depan Sidang Umum keempat MPRS Tahun 1966, rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Namun pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang diberi judul "Nawaksara" ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.

Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 Januari 1967 yang diberi nama "Pelengkap Nawaksara", tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah lalai dalam memenuhi kewajiban Konstitusional.

Sementara itu DPR-GR dalam resolusi dan memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai "Nawaksara" beserta pelengkapnya berpendapat bahwa "Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila".

Dalam kaitan itu, DPR-GR meminta kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.

Berdasarkan permintaan dari DPR-GR, MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 7 hingga 12 Maret 1967.

Pada Sidang Istimewa ini MPRS menghasilkan empat ketetapan, yaitu :

  1. Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno;
  2. Ketetapan MPRS Nomor XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara;
  3. Ketetapan MPRS Nomor XXXV/MPRS/1967 tentang Pancabutan Ketetapan MPRS Nomor XVII/1966;
  4. Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966.

Lihat pula



Sumber :
m.andrafarm.com, wiki.gilland-group.com, id.wikipedia.org, dsb.