Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Prajurit Kraton ketika turun dari bangsal Sitihinggil menuju Alun-alun Utara. (Foto ini sebenarnya karya Agus Yuniarso).

Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah alat pertahanan dan keamanan wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang terbagi atas beberapa kesatuan (bregada/brigade). Mereka merupakan tentara yang dahulunya dipakai sebagai angkatan perang, namun kini difungsikan sebagai bagian dari upacara adat Grebeg.

Kesatuan-kesatuan prajurit itu dibentuk pada masa pemerintahan Hamengkubuwono I sekitar abad abad 17. Tepatnya pada tahun 1755 Masehi. Selama kurang lebih setengah abad pasukan Ngayogyakarta terkenal cukup kuat, pada masa Pemerintahan Hamengkubuwono II mengadakan perlawanan bersenjata menghadapi serbuan dari pasukan Inggris dibawah pimpinan Jenderal Gillespie pada bulan Juni 1812. Namun semenjak masa Pemerintahan Hamengkubuwono III kompeni Inggris membubarkan angkatan perang Kasultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatangani oleh Sultan Hamengkubuwono III dan Raffles, dituliskan bahwa Kesultanan Yogyakarta tidak dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat.

Keraton Kasultanan Yogyakarta memiliki kesatuan-kesatuan prajurit yang disebut bregada. Saat ini terdapat 10 bregada prajurit, yaitu : Prajurit Wirobrojo, Prajurit Dhaheng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jogokaryo, Prajurit Prawirotomo, Prajurit Ketanggung, Prajurit Mantrijero, Prajurit Nyutro, Prajurit Bugis dan Prajurit Surokarso. Setiap bregada dipimpin oleh seorang perwira berpangkat Kapten, didampingi oleh seorang perwira berpangkat Panji, yang bertugas untuk mengatur dan memerintah keseluruhan prajurit dalam bregada. Setiap Panji didampingi oleh seorang Wakil Panji. Sementara regu-regu dalam setiap bregada dipimpin oleh seorang bintara berpangkat Sersan. Keseluruhan perwira dalam semua bregada dipimpin oleh seorang Pandega. Pucuk pimpinan tertinggi keseluruhan bregada prajurit Keraton adalah seorang Manggalayudha.

Keberadaan Bregada-bregada prajurit Keraton saat ini berada dibawah Pengageng Tepas Kaprajuritan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Hanya saja Bregada-bregada prajurit Keraton ini hanya tampil dalam acara tertentu, dengan urutan dan formasi tertentu sesuai peran dan fungsi masing-masing, sebagaimana yang ditampilkan dalam setiap defile pada upacara Garebeg setiap tahunnya.

Daftar isi

Sejarah Prajurit Kraton

COLLECTIE TROPENMUSEUM Schildering voorstellende de moord op kapitein Tack in Kartasura TMnr H-796.jpg
Gambar atau lukisan sosok prajurit Mataram..jpg
Jawai.jpg

Keberadaan prajurit Kraton mempunyai latar belakang sejarah yang panjang, yang telah melewati berbagai zaman genting. Prajurit kerajaan telah ada sejak ratusan tahun lalu. Sejak masa Kerajaan Mataram Islam awal yang beribukota di Kotagede dan di Plered, keberadaan abdi dalem prajurit atau prajurit Kraton sudah nyata dan menjadi bagian penting dari strategi - taktik pertahanan militer negara kerajaan itu. Mataram Islam, sebagai kerajaan yang kuat membutuhkan kesatuan (bregada) abdi dalem prajurit yang kuat pula.

Hal itu dapat diketahui dari fakta sejarah bahwa pada periode awal Kerajaan Mataram yaitu pada masa Panembahan Senopati (1585-1601 M) dan Hanyakrawati (1601 -1613 M) sampai dengan masa pemerintahan Sultan Agung (1613 - 1645 M) Kerajaan Mataram dikenal sebagai kerajaan mempunyai prajurit yang kuat dan tangguh. Tidak mengherankan jika pada masa itu Kerajaan Mataram mampu melakukan penjelajahan dan penaklukan ke berbagai daerah di pulau Jawa dan sekitarnya. Bahkan pada masa Sultan Agung prajurit Mataram pernah dua kali diperintahkan melakukan penyerbuan ke benteng VOC atau kumpeni di Batavia (Jakarta). Yaitu pada tahun 1628 M dan 1629 M. Pada masa dinasti-dinasti penerus Kerajaan Mataram sampai pada periode abad ke-18 misalnya para prajurit sebagai kekuatan militer tetap berada pada posisi strategis dan menjadi salah satu tolok ukur dari kekuatan, keutuhan dan kemampuan pertahanan sebuah dinasti.

Latar belakang dan lahirnya prajurit Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Kraton Yogyakarta) terkait erat dengan adanya konflik yang memunculkan peristiwa "perang Mangkubumen" antara tahun 1746 - 1755 M yang berakhir dengan adanya Perjanjian Giyanti (palihan nagari). Lewat Perjanjian Giyanti antara Sri Sunan Paku Buwana III dengan Pangeran Mangkubumi (putra Amangkurat IV) pada 13 Pebruari 1755 M (29 Rabiulakir 1680 J), Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Konsekuensi logis adanya Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi kemudian bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping I ing Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dalam perspektif sejarah keberhasilan perjuangan Hamengku Buwono I tersebut tidak terlepas dari dukungan aliansi para pejuang, kerabat (sedherek dan sentana dalem), kelompok-kelompok prajurit di bawah pimpinan Rangga Prawirasentika, dilengkapi dengan penerapan strategi perang gerilya yang jitu. Beberapa kerabat atau sedherek dalem yang dapat disebut telah memberikan dukungan dalam perjuangan itu adalah, Pangeran Hadiwijaya (RM. Subekti), gugur dalam pertempuran melawan Kumpeni di Kaliabu wilayah Kedu. Kedua, adik Pangeran Mangkubumi yaitu Pangeran Singasari (RM. Sunaka). Ketiga, Pangeran Hangabehi (RM. Sandeya) yang setelah Perjanjian Giyanti kemudian memilih jadi seorang Penghulu Pathok Negara pertama yang berada di Desa Mlangi. Keempat R.M. Said (Pangeran Sambernyawa), kemenakan sekaligus menantu Pangeran Mangkubumi yang di tengah perjuangan itu kemudian memisahkan diri dari Pangeran Mangkubumi dan memilih berjuang sendiri.

Sebagai peletak dasar dinasti Kraton Yogyakarta, saat itu Hamengku Buwono I memerintahkan pembuatan berbagai lingkungan binaan, yaitu kedhaton dengan berbagai prasarana, sarana, dan fasilitas pendukung lain untuk mewadahi berbagai aktifitas kelembagaan dan jalannya birokrasi pemerintahan kerajaan. Raja juga melembagakan kesatuan-kesatuan prajurit yang ikut melakukan perjuangan dan perlawanan bersenjata terhadap Belanda antara tahun 1746 - 1755 M menjadi bagian alat strategis bagi pertahanan kerajaan. Mereka menjadi cikal bakal bregada prajurit Kraton yang kita kenal sampai sekarang.

Tugas dan Fungsi Prajurit Kraton Yogyakarta Zaman Dahulu

Pada masa pemerintahan Hamengku Buwono I (1755 - 1792 M) dan Hamengku Buwono II (1792 - 1810, 1812 M) di Kraton Yogyakarta, keberadaan prajurit menjadi kesatuan militer yang sangat penting. Tidak kurang dari 15 kesatuan abdi dalem prajurit pernah ada pada awal lahir dan perkembangan kraton. Pada saat berperang melawan VIV Pangeran Mangkubumi telah mempunyai bregada prajurit yang handal (Prajurit Mantrijero), yang berhasil membunuh Mayor Clereq di pertempuran Jenar pada tanggal 12 Desember 1751 atau 22 Sura tahun Jimawal 1677 J. Di dalam Serat Kuntharatama (G.P.H. Buminata, 1958) kejadian ini disebutkan sebagai berikut.

"Kocapa barisanipun S.D.I.S Kangjeng Susuhunan dipun tempuh senapatining bangsa Walandi nama Mayor Clereq, ing riku saya rame sanget ungkih-ingungkih, dangu-dangu mayor Clereq kesisan wadya, sabab kathah ingkang pejah sarta tatu, punapa dene kaplajar nilar senapatinipun, Sareng Mayor Clereq katingal ngalela, boten talompe abdi Dalem Mantri Lebet (Mantri Jero, Pen.) nama Wiradigda anjangkah amaos, anamung cuwa dene ngengingi pundhak ingkang linapis ing kere waja. Mayor Clereq sareng sabetipun dhawah lajeng trengginas narik pistol, anamung sinarengan panjangkahipun mantri lebet nama Prawirarana, nyuduk ngengingi jangganipun. Wusana Mayor Clereq dhawah kalumah lajeng dipun kakahi dening mantri wau, tumunten dipun sembeleh. Sapejahipun senapati Walandi nama Mayor Clereq sadaya sami lumajar rebat gesang."

Terjemahannya: Tersebutlah Barisan pasukan SDIS Kanjeng Susuhunan berhadapan langsung dengan komandan pasukan Belanda bernama Mayor Clereq. Terjadi pertempuran jarak dekat yang sengit, lama kelamaan Mayor Clereq kehabisan serdadu, sebab banyak yang mati terbunuh atau melarikan diri, meninggalkan komandannya. Mayor Clereq terlihat lengah, segera seorang abdi Dalem Mantri Lebet (Mantri Jero, Pen.) bernama Wiradigda maju ke depan menusuk dia. Tetapi dia kecewa sebab tusukannya mengenai baju besi di pundak. Mayor Clereq setelah melihat serangan lawan gagal ia segera menarik pistol mau membunuh abdi dalem prajurit tadi. Untung saat itu ada abdi dalem Mantri Lebet lain bernama Prawirarana, dengan tangkas menusuk leher komandan serdadu Belanda itu. Mayor Clereq jatuh terlentang kemudian diburu oleh dua Mantri tadi lalu dibunuh. Setelah komandan Belanda itu mati, serdadu Belanda yang masih hidup cepat-cepat melarikan diri dari medan perang.

Dari potongan kisah di atas tampak sekali kalau satuan prajurit merupakan perangkat strategi dan taktik pertahanan serta representasi dari kekuatan politik seorang raja. Tumbuh dan berkembangnya sebuah dinasti baru juga tidak terlepas dari keberadaan kesatuan-kesatuan tersebut. Pada masa Hamengku Buwono I - Hamengku Buwono II kegiatan penjelajahan prajurit Kraton ke wilayah-wilayah mancanegara masih terus dilakukan untuk mempertahankan dominasi dan menunjukkan kekuatan militer kerajaan ini.

Ada beberapa kelengkapan strategis prajurit terutama dapat dilihat dari berbagai strategi dan taktik klasik yang diterapkan dalam peperangan yang disebut gelar perang. Dalam Serat Kuntaratama disebutkan antara lain "gelar garudha nglayang dan sapit urang". Strategi gelar garudha nglayang diterapkan dalam pertempuran di daerah Jenar Purworejo tahun 1751 M (1677 Jw), sedangkan sapit urang diterapkan dalam pertempuran di daerah Madiun (Buminata, 1946).

Untuk mendukung kegiatan militer tersebut, sarana dan prasarana prajurit serta persenjataan yang dimiliki menjadi kelengkapan penting dan sangat diperhitungkan oleh pihak-pihak luar. Persenjataan prajurit terdiri atas beberapa jenis senjata api (meriam, senapan, dan pistol) dan senjata tradisional antara lain tombak, keris, panah, pedang, dan alat pelindung badan berupa tameng. Di samping itu, juga terdapat kelengkapan pendukung yaitu terompet, bendhe dan simbal (kecer), sebagai alat musik (unen-unen) yang dibunyikan sebagai pertanda dimulainya suatu kegiatan prajurit. Beberapa simbal Keraton kemudian diangkat sebagai pusaka dengan nama, Kiai Sima, Kiai Udan Arum, dan Kiai Tundhung Mungsuh.

Kelengkapan dan besarnya kesatuan prajurit pada masa Hamengku Buwono I menjadi tolok ukur dari kekuatan militer kerajaan. Terbukti pada tahun 1781 M Kumpeni Belanda melalui Gubernur J. Siberg pernah meminta bantuan prajurit Kraton Yogyakarta berjumlah 1132 orang untuk dikirim ke Batavia. Rincian jumlah tersebut adalah 1000 orang prajurit biasa, 100 orang dari Putra Mahkota, dan sisanya perwira. Dalam Babad Mangkubumi (Pupuh LXXII, Pangkur) disebutkan :"... kang eyang Jenderal, ing mangke karsanya ugi, nuwun bantu Kangjeng Sultan, pratiwa keh sewu tumameng wajik." (Kakek Jenderal, maksudnya Gubernur Jenderal, punya maksud agar Kanjeng Sultan membantu dengan seribu prajurit yang dilengkapi perisai). Prajurit-prajurit Kraton Yogyakarta tersebut sedianya dipersiapkan untuk menghadapi serbuan tentara Inggris yang telah menyatakan perang dengan Belanda dan telah mengadakan berbagai serangan di kawasan Eropa serta Asia Tenggara. Masa tugas kesatuan prajurit kraton di Batavia sampai dengan bulan Oktober 1783 M. Setelah prajurit kraton selesai bertugas, Hamengku Buwono I kemudian mendapatkan hadiah 12 meriam dari Residen Yogyakarta (Ricklefs, 2002).

Untuk menunjukkan kekuatan pertahanan kerajaan, di samping memiliki kesatuan prajurit saat itu Keraton juga mendirikan sarana untuk pertahanan yaitu benteng pertahanan (baluwarti) yang mengelilingi area cepuri kedhaton dan dilengkapi dengan parit keliling (jagang) di sisi luarnya. Benteng Kraton tersebut dibangun pada masa pemerintahan Hamengku Buwono I oleh Putra Mahkota (kelak naik tahta menjadi Hamengku Buwono II) pada tahun Jimakir, 1706 Jw. Benteng baluwarti didirikan dengan candrasengkala "Rasa Sunyo Lenggahing Panunggal" atau tahun 1782 M dengan suryasengkala "Paningaling Kawicaksanan Salingga Bathara" (Tashadi, ed., 1979). Sebagai penanggungjawab kegiatan pembangunan benteng adalah patih putra mahkota, yaitu Tumenggung Wiraguna (Ricklefs, 2002). Keberadaan benteng dalam strategi pertahanan merupakan salah satu fasilitas penting yang menyatu dengan tugas-tugas keprajuritan untuk perlindungan. Keberadaan benteng Kraton tersebut pernah mendapat perhatian dari Gubernur Belanda J. Siberg (1780 -1787 M). Ia pada tahun 1785 M mengirimkan tim pengamat benteng pertahanan yang terdiri para taruna maritim Belanda dari Semarang. Di samping itu, ketika Gubernur Jan Greeve melakukan perjalanan ke Yogyakarta antara tanggal 5-15 Agustus 1788 M, pada 6 Agustus ia melakukan pemeriksaan dengan mata kepala sendiri ke benteng tersebut (Ricklefs, 2002).

J. Greeve yang datang bersama Residen Surakarta Hartsinch juga menyaksikan kesatuan-kesatuan prajurit yang terlatih dan menyambutnya dengan salvo senapan dan meriam. Bahkan ketika berkunjung ke sebuah Pesanggrahan Putra Mahkota yaitu Rejawinangun di bagian sisi timur kraton, juga melihat keberadaan kesatuan-kesatuan prajurit berkuda putri dari Kadipaten. Berdasarkan bukti catatan kunjungan yang ada dalam Dagregister 20 Agustus 1788 tersebut, kepada mereka juga dipertontonkan olah keprajuritan dalam memburu kijang untuk ditangkap hidup-hidup (TBG, vol. 27: 1882). Kegiatan tersebut dilakukan di tempat perburuan kijang yang berada di sebelah selatan kraton, di Krapyak. Pada masa Hamengku Buwono II, prajurit berkuda putri tersebut dinamakan kesatuan Langenkusuma, yang keberadaannya dipusatkan di Pesanggrahan Madyaketawang. Di samping itu, prajurit Langenkusuma yang bersenjata senapan juga melakukan latihan (gladhen) di Alun-alun Pungkuran yang berada di sebelah selatan kraton. Dalam Serat Rerenggan Karaton, Pupuh XXII, Sinom, disebutkan : "Sanggrahan Madya Ketawang, lamun miyos Sri Bupati, pratameng Langenkusuma, lir priya praboting jurit, tinonton saking tebih, saengga priya satuhu, samya munggeng turangga, myang yen gladhi neng praja di, angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran." (terjemahannya: di Pesanggrahan Madyaketawang, dan datanglah Sri Bupati (maksudnya Sri Sultan) untuk menyaksikan, pemimpin pasukan Langenkusuma (yang perempuan itu), mirip penampilan prajurit lelaki, dilihat dari jauh, tampak seperti prajurit laki-laki sungguhan, semua naik kuda, menuju tempat latihan di ibukota, yaitu di Alun-alun Pungkuran atau Alun-alun Selatan).

Selain beberapa kesatuan prajurit yang sudah ada pada waktu itu, juga dibentuk lagi kesatuan-kesatuan prajurit yang baru yaitu Mandrapratama, Prawiratama, Yudapratama, dan prajurit Setabelan, prajurit khusus penjaga meriam. Meriam buatan masa Hamengku Buwono II yang terkenal dipasang di sudut benteng Tanjung Anom saat itu diberi nama Ki Nagarunting.

Sebagai abdi dalem kraton, masing-masing prajurit mendapatkan gaji kira-kira dua gobang atau sekitar 5 sen. Sejak awal berdirinya Kraton tempat tinggal para prajurit berada di sekitar lingkungan cepuri kraton, di dalam benteng baluwarti. Oleh karena itu, kesatuan-kesatuan prajurit tersebut mempunyai posisi taktis - strategis dalam mempertahankan eksistensi kerajaan dan khususnya dalam mempertahankan benteng kraton. Terbukti ketika pasukan Inggris dipimpin Kolonel Gillespie dari Loji Besar melakukan penyerbuan pada masa pemerintahan Hamengku Buwono II tahun 1812 M. Pada tanggal 18-19 Juni 1812 M Inggris menyerang dengan senjata berat ke benteng kraton. Beberapa bagian benteng dan bangunan rusak berat karena hantaman peluru meriam Inggris, terutama Dalem Kadipaten yang berada di sebelah selatan Plengkung Tarunasura. Prajurit kraton bertempur penuh semangat mempertahankan benteng baluwarti dan kraton. Kesatuan-kesatuan prajurit dipimpin para Senapati Perang kraton Pangeran Dipasana dan Muhammad Abubakar bertempur di sektor sudut benteng Tanjung Anom, Pangeran Panular memimpin pasukan Putra Mahkota dan kesatuan artileri (lurah setabel) melakukan perlawanan artileri, membalas dengan tembakan meriam ke arah pasukan Inggris. Pangeran Mangkudiningrat bersama pasukannya bertempur di dalam Kedhaton, sedangkan Tumenggung Somadiningrat dan Martoloyo memimpin pertempuran di benteng bagian selatan. (Babad Bedhahing Ngayogyakarta).

Serbuan langsung oleh tentara Inggris tertuju ke arah Kraton Yogyakarta diakukan pada tanggal 20 Juni 1812 M. Serangan langsung tersebut mendapatkan perlawanan sengit dari kesatuan-kesatuan prajurit Wirabraja, Ketanggung, Jagakarya, Bugis, Setabel meriam, dan berbagai kesatuan lain. Mereka cukup bisa merepotkan pasukan Inggris yang menang dalam peralatan militer dan jumlah pasukan.

Akhimya Kraton dapat dikuasai tentara Inggris dan Hamengku Buwono II diturunkan dari tahta. Kemudian Hamengku Buwono II diasingkan ke Penang bersama Pangeran Mangkudiningrat. Secara sepihak pasukan Inggris kemudian mengangkat kembali Hamengku Buwono III sebagai Sultan (1812 M) (Carey, 1992). Campur tangan politik dan militer yang dilakukan secara langsung oleh Inggris ini dimaksudkan untuk melemahkan pihak Kraton Yogyakarta.

Dari Kesatuan Prajurit Taktis ke Prajurit Seremonial

Setelah Inggris menyerbu dan mengalahkan Kraton Yogyakarta maka prajurit kraton dikurangi jumlahnya dan diperlemah kekuatannya. Perubahan penting terjadi setelah perjanjian antara Hamengku Buwono III dengan Raffles ditandatangani pada tanggal 1 Agustus 1813. Isi perjanjian itu memaksa prajurit kraton tidak boleh lagi berada dalam format sebagai angkatan perang yang kuat sebagaimana masa sebelumnya. Kesatuan prajurit diperlemah kualitasnya sampai tidak memungkinkan lagi untuk melakukan gerakan militer. Prajurit kraton tidak lebih hanya sebatas berfungsi sebagai pengawal Sultan dan penjaga kraton. Pasukan Inggris mengawasi prajurit Kraton dengan ketat.

Pada masa pemerintahan Hamengku Buwono IV (1814 - 1820 M), dilakukan penataan permukiman di dalam benteng. Agar posisi strategis hilang atau lemah maka pemukiman prajurit Kraton dipindah dari dalam benteng baluwarti keluar benteng atau berada sekeliling benteng. Dalam Serat Rerenggan Keraton (Aryono, 1981), Sinom, Pupuh XXIV disebutkan, sebagai berikut:

"Ya ta ingkang winurcita, karsa dalem Sri Bupati, kang jumeneng ping sekawan, byantu lan pamrentah nagri, ing mangke ngewahi, pemahan jron beteng agung, prajurit wismanira, gelondhong dadya satunggil, mantrijero, ketanggung, nyutra disuda".

"Pra prajurit wismanira, tancep lama kanan kering, sakilen sawetan pura, samangke dadya sawiji, reh niyaka jro jawi, byantu ngusung griyanipun, weneh ngulon mangetan, ler ngidul pundi den broki, pan gumerah swaranya wong ngusung griya."

Terjemahannya: Sebagaimana dikisahkan, atas kehendak Sri Bupati yang keempat (Sultan HB IV), dibantu penguasa negeri, terjadi perubahan penting menyangkut prajurit yang bermukim di dalam benteng rumahnya dipindah jadi satu di luar benteng, jumlah prajurit Mantrijero, Ketanggung, Nyutra dikurangi. Terjadi gerakan pemindahan rumah para prajurit dari dalam benteng menuju ke segala arah di luar benteng. Ramai sekali suara orang memindahkan rumah-rumah prajurit ini.

Beberapa kesatuan prajurit bersama perumahan mereka dipindahkan ke bagian sisi sebelah barat, selatan, dan timur benteng kraton. Kesatuan prajurit yang ditempatkan di sisi sebelah barat benteng kraton dari arah paling utara ke selatan adalah Prajurit Wirabraja, Ketanggung, Patang Puluh, Bugis, dan Suranggama. Kesatuan Prajurit yang ditempatkan di sisi sebelah selatan benteng kraton dari arah barat ke timur adalah Prajurit Dhaeng, Jagakarya, Mantrijero, Prawiratama dan kesatuan Prajurit yang ditempatkan di sisi sebelah timur benteng dari arah utara ke selatan adalah Prajurit Surakarsa dan Nyutra.

Khusus kesatuan prajurit Langenastra dan Langenarja tetap berada di dalam benteng kraton, yaitu di sebelah timur Alun-alun selatan. Prajurit Jager sejak awal sudah berada di luar benteng kraton, yaitu kira-kira 500 m di sebelah utara Gedhong Panggung Krapyak. Lokasi penempatan prajurit tersebut sekarang masih dapat dilacak sesuai dengan nama-nama toponim kampungnya.

Pada masa pemerintahan Hamengku Buwono V, paska Perang Jawa atau perlawanan Pangeran Dipanegara (1825 - 1830 M), Kraton mengalami tekanan politik dan aneksasi wilayah oleh Pemerintah Belanda sebagai ganti rugi biaya perang tersebut. Kedudukan prajurit kraton pada akhirnya semakin lemah posisinya. Dengan demikian, kondisi prajurit yang sudah lemah tersebut semakin tidak mempunyai arti strategis secara kemiliteran di dalam sebuah pertahanan negara. Prajurit Kraton mengalami perubahan fungsi dan pemaknaannya. Banyak kesatuan prajurit Kraton kemudian tidak ada lagi karena dilikuidasi, antara lain Mandrapratama, Yudapratama, Setabel, dan Langenkusuma. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V terjadi pengurangan pasukan secara besar-besaran berdasar kesepakatan demiliterisasi antara Sultan dengan Belanda. Jumlah bregada (kesatuan prajurit kraton) berkurang separuh atau tinggal 13 bregada prajurit, dan pada setiap kesatuan prajurit tersebut terjadi pelucutan kekuatan personil bersenjata sampai dengan 75 persen.

Prajurit Kraton pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI sampai dengan Sultan Hamengku Buwono VIII telah mengalami pergeseran fungsi yang sangat penting yakni dari prajurit pertahanan keamanan menjadi prajurit seremonial. Berbagai perubahan fungsi, konfigurasi, dan pemaknaan tentang prajurit kraton terus berlanjut sampai dengan masa Hamengku Buwono VIII dan awal pemerintahan Hamengku Buwono IX. Sejak tahun 1942 pada masa penjajahan Jepang semua kesatuan prajurit Kraton dibubarkan. Prajurit kraton dihidupkan kembali pada tahun 1970-an dan terus hidup sampai sekarang. Posisi dan fungsi prajurit ini bukan lagi sebagai kesatuan bersenjata untuk mempertahankan atau mengawal kraton; akan tetapi sebatas untuk kepentingan seremonial kraton dan atraksi budaya bagi kepentingan pariwisata budaya. Prajurit Kraton dilibatkan dan berfungsi pada upacara Garebeg Syawal (Idul Fitri), Garebeg Besar (Idul Adha), dan Garebeg Mulud (Rabi'ulawal) serta acara-acara budaya insidental lainnya. Apabila direnungkan, keberadaan prajurit dengan berbagai identitas dan atributnya itu tetap mempunyai arti dan dapat dimaknai sebagai nilai-nilai filosofi tertentu sesuai konteks budaya yang ada.

Makna Filosofi Nama-nama Bregada Prajurit

Prajurit Kraton Yogyakarta saat ini terdiri atas 10 bregada. Perbedaan antar bregada yang satu dengan yang lain ditentukan menurut atribut panji-panji (bendera), busana, dan kelengkapannya. Nama-nama bregada/ pasukan itu adalah Prajurit Wirabraja, Prajurit Dhaeng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jagakarya, Prajurit Prawiratama, Prajurit Nyutra, Prajurit Ketanggung, Prajurit Mantrijero, Prajurit Bugis, dan Prajurit Surakarsa.

Semua nama bregada prajurit, mode atribut panji-panji, warna busana, dan kelengkapan dalam prajurit Kraton Yogyakarta mempunyai makna filosofis. Berikut akan diberikan analisis makna filosofis atas nama, mode jenis panji-panji, dan warna busana itu.

Prajurit Wirabraja

Nama Wirabraja berasal dari kata wira berarti 'berani' dan braja berarti 'tajam', kedua kata itu berasal dari bahasa Sansekerta. Secara filosofis Wirabraja bermakna suatu prajurit yang sangat berani dalam melawan musuh dan tajam serta peka panca inderanya. Dalam setiap keadaan ia akan selalu peka. Dalam membela kebenaran ia akan pantang menyerah, pantang mundur sebelum musuh dapat dikalahkan. Dengan nama kuno dari bahasa Sansekerta secara filosofis diharapkan agar kandungan maknanya mempunyai daya magis yang memberi jiwa kepada seluruh anggota pasukan ini.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Wirabraja adalah Gula-klapa, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar putih, pada setiap sudut dihias dengan centhung berwarna merah seperti ujung cabai merah (kuku Bima). Di tengahnya adalah segi empat berwarna merah dengan pada bagian tengahnya adalah segi delapan berwarna putih.

Gula-klapa berasal dari kata 'gula' dan 'kelapa'. Yang dimaksud di sini adalah gula Jawa yang terbuat dari nira pohon kelapa yang berwarna merah; sedangkan 'kelapa' berwarna putih. Secara filosofis bermakna pasukan yang berani membela kesucian/kebenaran.

Prajurit Dhaeng

Nama Dhaeng berasal dari bahasa Makasar sebagai sebutan gelar bangsawan di Makasar. Secara filosofis Dhaeng bermakna prajurit elit yang gagah berani seperti prajurit Makasar pada waktu dahulu dalam melawan Belanda.

Menurut sejarah, prajurit Dhaeng adalah prajurit yang didatangkan oleh Belanda guna memperkuat bala tentara R.M. Said. R.M. Said kemudian berselisih dengan P. Mangkubumi. Padahal kedua tokoh ini semula bersekutu melawan Belanda. Puncak atas perselisihan itu adalah perceraian R.M. Said dengan istrinya. Istri R.M. Said adalah putri Hamengku Buwono I. Pada waktu memulangkan istrinya, R.M. Said (P. Mangkunegara) khawatir jika nanti Hamengku Buwono I marah. Guna menjaga hal yang tidak diinginkan, kepulangan sang mantan istri, Kanjeng Ratu Bendara diminta agar diiringkan oleh pasukan pilihan, yaitu prajurit Dhaeng. Setelah sampai di Kraton Yogyakarta, justru disambut dengan baik. Prajurit Dhaeng diterima dengan tangan terbuka, disambut dengan baik. Atas keramahtamahan itu prajurit Dhaeng kemudian tidak mau pulang ke Surakarta. Mereka kemudian mengabdi dengan setia kepada Hamengku Buwono I. Laskar Dhaeng kemudian oleh Hamengku Buwono I diganti menjadi Bregada Dhaeng.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Dhaeng adalah Bahningsari, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar putih, di tengahnya adalah bintang segi delapan berwarna merah. Bahningsari berasal dari kata bahasa Sansekerta bahning berarti 'api' dan sari berarti 'indah / inti'. Secara filosofis bermakna pasukan yang keberaniannya tidak pernah menyerah seperti semangat inti api yang tidak pernah kunjung padam.

Prajurit Patangpuluh

Mengenai asal usul nama Patangpuluh sampai sekarang belum ada rujukan yang dapat menjelaskan secara memuaskan. Nama Patangpuluh tidak ada hubungannya dengan jumlah anggota bregada.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Patangpuluh adalah Cakragora, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah bintang segi enam berwarna merah. Cakragora berasal dari kata bahasa Sansekerta "cakra" 'senjata berbentuk roda bergerigi' dan "gora", juga dari bahasa Sansekerta berarti 'dahsyat, menakutkan'. Secara filosofis bermakna pasukan yang mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa, sehingga segala musuh seperti apa pun akan bisa terkalahkan,

Prajurit Jagakarya

Prajurit Jagakarya berasal kata jaga dan karya. Kata 'jaga' berasal bahasa Sansekerta berarti 'menjaga', sedangkan 'karya' dari bahasa Kawi berarti 'tugas, pekerjaan'. Secara filosofis Jagakarya bermakna 'pasukan yang mengemban tugas selalu menjaga dan mengamankan jalannya pelaksanaan pemerintahan dalam kerajaan'.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Jagakarya adalah Papasan, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar merah, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna hijau. Papasan berasal dari kata nama tumbuhan atau burung papasan. Pendapat lain Papasan berasal dari kata dasar 'papas' menjadi 'amapas" yang berarti 'menghancurkan' (Wojowasito, 1977:190). Secara filosofis papasan bermakna pasukan pemberani yang dapat menghancurkan musuh dengan semangat yang teguh.

Prajurit Prawiratama

Nama Prawiratama berasal kata prawira dan tama. Kata 'prawira' berasal dari bahasa Kawi berarti 'berani, perwira', 'prajurit', sedangkan "tama" atau "utama" bahasa Sansekerta yang berarti 'utama, lebih'; dalam bahasa Kawi berarti 'ahli, pandai'. Secara filosofis Prawiratama bermakna pasukan yang pemberani dan pandai dalam setiap tindakan, selalu bijak walau dalam suasana perang.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Prawiratama adalah Geniroga, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna merah. Geniroga berasal dari kata 'gent berarti 'api', dan kata Sansekerta 'roga' berarti 'sakit'. Secara filosofis bermakna pasukan yang diharapkan dapat selalu mengalahkan musuh dengan mudah.

Prajurit Nyutra

Nama Nyutra berasal kata dasar sutra mendapatkan awalan N. Kata sutra dalam bahasa Kawi berarti 1) 'unggul', 2) lulungidan (ketajaman), 3) 'pipingitan/'sinengker’ (Winter, K.F., 1928, 233,266); sedang dalam bahasa Jawa Baru berarti 'bahan kain yang halus'; sedangkan awalan N- berarti 'tindakan aktif sehubungan dengan sutra'. Prajurit Nyutra merupakan prajurit pengawal pribadi Sri Sultan. Prajurit ini merupakan kesayangan raja, selalu dekat dengan raja. Secara filosofis Nyutra bermakna pasukan yang halus seperti halusnya sutera yang menjaga mendampingi keamanan raja, tetapi mempunyai ketajaman rasa dan ketrampilan yang unggul. Itulah sebabnya prajurit Nyutra ini mempunyai persenjataan yang lengkap (tombak, towok dan tameng, senapan serta panah/jemparing). Sebelum masa Hamengku Buwono IX, anggota Prajurit Nyutra diwajibkan harus bisa menari.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Nyutra adalah Podhang ngingsep sari dan Padma-sri-kresna. Podhang ngingsep sari untuk Prajurit Nyutra Merah, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar kuning, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna merah. Padma-sri-kresna untuk Prajurit Nyutra Hitam berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar kuning, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna hitam.

Podhang ngingsep sari berasal dari kata podhang berarti 'kepodang (jenis burung dengan bulu warna kuning indah keemasan)', ngingsep = 'mengisap', dan sari = 'inti, sari'. Secara filosofis Nyutra Merah bermakna pasukan yang selalu memegang teguh pada keluhuran. Padma-sri-kresna berasal dari tiga kata bahasa Sansekerta, yaitu: "padma" berarti 'bunga teratai', "sri" berarti 'cahaya, indah', dan "kresna" yang berarti 'hitam'. Secara filosofis Nyutra Hitam bermakna pasukan yang selalu membasmi kejahatan, seperti Sri Kresna sebagai titisan Dewa Wisnu.

Prajurit Ketanggung

Nama Ketanggung berasal kata dasar "tanggung" mendapatkan awalan ke-. Kata "tanggung" berarti 'beban, berat1. Sedangkan ke- di sini sebagai penyangatan 'sangat'.

Secara filosofis Ketanggung bermakna pasukan dengan tanggung jawab yang sangat berat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Puliyer (Wirawicitra / Wirawredhatama / Operwachmester).

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Ketanggung adalah Cakra-swandana, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah gambar bintang bersegi enam dengan warna putih. Cakra-swandana berasal dari bahasa Sansekerta "cakra" (senjata berbentuk roda bergerigi) dan kata Kawi "swandana" yang berarti 'kendaraan/kereta'. Secara filosofis Ketanggung bermakna pasukan yang membawa senjata cakra yang dahsyat yang akan membuat porak poranda musuh.

Prajurit Mantrijero

Nama Mantrijero berasal kata "mantri" dan "jero". Kata "mantri" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti 'juru bicara, menteri, jabatan di atas bupati dan memiliki wewenang dalam salah satu struktur pemerintahan'. Sedangkan “jero" berarti 'dalam'. Secara harfiah kata Mantrijero berarti 'juru bicara atau menteri di dalam' Secara filosofis Mantrijero bermakna pasukan yang mempunyai wewenang ikut ambil bagian dalam memutuskan segala sesuatu hal dalam lingkungan Kraton (pemutus perkara).

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Mantrijero adalah Purnamasidhi, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna putih. Purnamasidhi berasal dari kata Sansekerta, yaitu "purnama" berarti 'bulan penuh' dan kata "siddhi" yang berarti 'sempurna'. Secara filosofis Purnamasidhi bermakna pasukan yang diharapkan selalu memberikan cahaya dalam kegelapan.

Prajurit Bugis

Nama Bugis berasal kata bahasa Bugis. Prajurit Bugis sebelum masa Hamengku Buwono IX bertugas di Kepatihan sebagai pengawal Pepatih Dalem. Semenjak zaman Hamengku Buwono IX ditarik menjadi satu dengan prajurit kraton, dan dalam upacara Garebeg bertugas sebagai pengawal gunungan. Secara filosofis Prajurit Bugis bermakna pasukan yang kuat, seperti sejarah awal mula yang berasal dari Bugis, Sulawesi.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Bugis adalah Wulan-dadari, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna kuning emas. Wulan-dadari berasal dari kata "wulan" berarti 'bulan' dan "dadari" berarti 'mekar, muncul timbul'. Secara filosofis bermakna pasukan yang diharapkan selalu memberikan penerangan dalam kegelapan, ibarat berfungsi seperti munculnya bulan dalam malam yang gelap yang menggantikan fungsi matahari.

Prajurit Surakarsa

Nama Surakarsa berasal dari kata sura dan karsa. Kata "sura" berasal dan bahasa Sansekerta berarti 'berani', sedangkan "karsa" berarti 'kehendak'. Dahulu Prajurit Surakarsa bertugas sebagai pengawal Pangeran Adipati Anom / 'Putra Mahkota'; bukan bagian dari kesatuan prajurit kraton. Secara filosofis Surakarsa bermakna pasukan yang pemberani dengan tujuan selalu menjaga keselamatan putra mahkota. Sejak masa Hamengku Buwono IX, pasukan ini dijadikan satu dengan prajurit kraton dan dalam upacara Garebeg mendapat tugas mengawal Gunungan pada bagian belakang (Yudodiprojo, 1995).

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Surakarsa adalah Pareanom, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hijau, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna kuning. Pareanom berasal dari kata "pare" (tanaman merambat berwarna hijau yang buahnya jika masih muda berwarna hijau kekuning-kuningan), dan kata "anom" berarti 'muda'. Secara filosofis Pareanom bermakna pasukan yang selalu bersemangat dengan jiwa muda.

Makna Filosofis Warna pada Bregada Prajurit

Warna dapat dipahami dalam tiga tingkatan. Pertama, adalah warna secara murni yaitu penggunaan warna untuk warna itu sendiri; kedua, adalah warna secara harmonis yang mengungkap kenyataan optis; ketiga, adalah warna secara heraldis atau simbolis. Pada Prajurit Kraton Yogyakarta, warna akan dipahami secara simbolis. Sebagai simbol, warna dapat ditemukan antara lain pada pakaian dan bendera (klebet/dwaja). Warna-warna yang digunakan biasanya adalah warna-warna dasar, seperti putih, merah, kuning, hitam dan biru, serta hijau.

Dalam dunia simbolik Jawa terdapat istilah mancapat dan mancawarna. Segala sesuatu di dunia dibagi empat yang disebar di keempat penjuru angin dan satu di tengah sebagai pusat. Warna juga dibagi empat atau lima. Warna hitam terletak di utara, sementara merah berada di selatan. Warna putih diletakkan di timur, dan barat memiliki warna kuning. Di tengah, sebagai pusat, adalah perpaduan dari berbagai warna tersebut. Masing-masing warna tersebut berasosiasi dengan berbagai hal, seperti sifat, dewa, bunga, serta benda-benda.

Berikut adalah makna beberapa warna yang terdapat pada prajurit Kraton Yogyakarta.

Warna hitam, wulung dan biru

Warna hitam digunakan pada baju dan celana Manggala, baju dan celana Pandhega, baju prajurit Prawiratama, baju sebagian prajurit Nyutra, topi mancungan dari Prajurit Dhaeng. Pada bendera prajurit Patangpuluh, warna ini menjadi dasar dari bendera Cakragora. Warna ini juga terlihat pada sebutan bendera Nyutra, yaitu Padma-sri-kresna. Kresna bukan saja nama tokoh pahlawan dalam pewayangan Mahabharata, melainkan juga warna hitam, seperti warna badan Sri Kresna. Warna hitam adalah warna tanah, berkaitan dengan sifat aluamah Dalam masyarakat Jawa, warna ini dapat diartikan sebagai keabadian dan kekuatan.

Warna wulung, yaitu hitam keunguan, digunakan misalnya untuk blangkon prajurit Dhaeng atau untuk dodot yang dikombinasikan dengan warna putih. Warna wulung dekat dengan warna hitam, sehingga bermakna sama.

Warna biru, digunakan secara terbatas misalnya pada lonthong prajurit Dhaeng (Jajar Sarageni, Jajar Sarahastra dan prajurit Dhaeng Ungel-ungelan). Makna dari penggunaan warna ini barangkali dekat dengan makna warna biru yang berkonotasi teduh dan ayom.

Warna hitam dalam pembagian secara simbolik di Jawa (mancapat) berasosiasi dengan arah utara, besi, burung dhandhang (semacam bangau hitam), lautan nila (berwarna indigo atau biru), hari pasaran Wage, serta dewa Wisnu (Soehardi, 1996; 309).

Warna merah dan jingga

Merah digunakan pada beberapa pasukan. Pasukan yang menggunakan warna merah paling dominan adalah Prajurit Wirabraja, yang menggunakan warna ini pada topi centhung, baju sikepan, celana, hingga srempang, endhong (yang sekarang). Pasukan lain yang cukup dominan menggunakan warna merah adalah Dhaeng. Warna merah diterapkan pada hiasan di depan dada, ujung lengan baju, serta plisir pada samping celana. Prajurit Nyutra menggunakan warna merah pada baju tanpa lengan dan celana. Prajurit Ketanggung menggunakan kain merah sebagai pelapis baju. Prajurit Patangpuluh menggunakan warna merah untuk pelapis baju serta rangkapan baju dan celana. Warna merah juga digunakan dalam kain cindhe yang dikenakan oleh berbagai pasukan prajurit.

Untuk bendera, merah digunakan sebagai motif hias pada bendera Gula-klapa, yang merupakan bendera Kraton Yogyakarta meskipun sekarang dibawa oleh bregada Wirabraja. Merah sering dikonotasikan dengan keberanian (Brontodiningrat 1978: 15). Dalam hal ini, sesuai misalnya dengan sebutan Wirabraja untuk prajurit yang dikenal sebagai pemberani. Dalam kamus dinyatakan bahwa "wira" berarti 'kendel' (Poerwadarminta 1939: 664) atau 'berani' dan "braja" berarti 'gegaman' atau senjata.

Warna merah penting bagi kebudayaan-kebudayaan di Nusantara sejak lama. Lukisan dinding gua, juga penguburan pada masa Prasejarah menggunakan warna ini dari serbuk batuan hematit. Warna ini juga menemukan makna filosofisnya pada masa Hindu hingga dimodifikasi pada masa Islam yang diwujudkan antara lain dalam warna merah dari bendera Gula-klapa.

Warna jingga atau oranye digunakan untuk baju dalam prajurit Jagakarya. Warna ini jarang digunakan dan sering dimasukkan ke dalam warna merah. Oleh karena itu, warna ini memiliki makna pemberani, mirip dengan warna merah. Dalam pembagian simbolik di Jawa (mancapat), warna merah berasosiasi antara lain dengan api, selatan, logam swasa -yaitu campuran antara emas dan tembaga-, burung wulong, lautan darah, hari pasaran Pahing, serta Dewa Brahma (Soehardi, 1996; 309).

Warna putih

Warna putih digunakan oleh hampir semua prajurit dalam berbagai bentuk, terutama untuk bagian yang sekunder seperti baju rangkap, atau sayak. Pasukan yang menggunakan warna putih secara dominan adalah prajurit Dhaeng dan Surakarsa. Kedua pasukan ini menggunakan warna putih untuk baju dan celana panjang. Sebagian lain menggunakan warna putih untuk celana panjang, yaitu prajurit Ketanggung dan Patangpuluh.

Warna putih juga digunakan sebagai warna dasar bendera Gula-klapa yang dibawa pasukan Wirabraja dan bendera Bahningsari dari Pasukan Dhaeng. Dua pasukan ini berada pada urutan depan dari barisan seluruh pasukan kraton jika sedang melakukan defile. Di urutan bagian belakang, prajurit Mantrijero menggunakan warna putih sebagai bentuk bulatan di tengah hitam yang merupakan warna dasar bendera. Bendera ini disebut dengan Purnamasidhi, yaitu bulan purnama. Di Kraton Yogyakarta, warna putih juga digunakan pada plak payung ampeyan KGPH atau Patih yang menyandang nama Pangeran (Isnurwindryaswari 2004:106).

Warna putih berdekatan makna dengan kebersihan atau kesucian. Hubungan antara putih dengan kesucian sudah berlangsung lama dalam sejarah kebudayaan. Didalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Jawa terdapat abdi dalem yang disebut Pamethakan. Istilah ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti putih. Pakaian abdi dalem ini berwarna putih. Abdi dalem ini bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan.

Dalam pembagian warna secara simbolik di Jawa (mancapat), warna putih berasosiasi antara lain dengan arah timur, perak, burung kuntul (bangau), air, santan, hari pancawala Legi, serta Dewa Komajaya (Soehardi, 1996; 308).

Warna kuning dan emas

Warna kuning tidak digunakan secara dominan pada prajurit kraton; hanya untuk hiasan, seperti hiasan lengan pada prajurit Nyutra. Warna kuning juga merupakan warna dasar dari bendera kedua regu pasukan Nyutra. Salah satunya adalah bendera Podhang ngingsep sari. Nama podhang berkaitan dengan warna bulu burung ini yang kuning.

Warna kuning bermakna keluhuran, ketuhanan, dan ketenteraman (Brontodiningrat, 1978; 15). Dalam upacara selamatan pada masyarakat Jawa, juga sering dihadirkan nasi kuning sebagai bagian dari sesaji. Hal ini merupakan simbol pengharapan akan keselamatan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Di Kraton Yogyakarta, warna kuning antara lain hadir pada warna plak payung yang digunakan oleh pangeran sentana, juga payung yang digunakan untuk menaungi makanan dan minuman yang dihidangkan untuk Sultan (Isnurwindryaswari, 2004; 110).

Dekat dengan warna kuning adalah warna emas. Warna kuning emas digunakan misalnya oleh prajurit Wirabraja untuk plisir pada topi centhung Panji, plisir pada baju sikepan Panji. Warna emas digunakan antara lain untuk membedakan antara Lurah dan prajurit Jajar, sebagaimana terlihat pada pasukan Patangpuluh, prajurit Jagakarya. Warna emas adalah lambang kemuliaan dan keagungan (Herusatoto, 1985; 95).

Warna emas (prada) mengandung makna kemuliaan dan kemakmuran yang dapat meningkatkan kewibawaan raja (Herusatoto, 1985; 95). Sebagai logam mulia, emas merupakan logam yang stabil, tidak mudah bereaksi terhadap unsur-unsur lain. Logam ini juga merupakan logam yang indah, mudah dibentuk, serta langka. Oleh karena itu, emas termasuk logam berharga.

Di Kraton, emas atau prada digunakan untuk mewarnai beberapa bagian bangunan, seperti umpak, tiang, dan sebagainya, untuk tempat-tempat yang disinggahi oleh Sultan. Selain itu, warna emas juga terdapat pada payung kebesaran Sultan, Kanjeng Kyai Tunggul Naga (Isnurwindryaswari, 2004; 110). Banyaknya warna prada pada lambang-lambang kerajaan disebabkan karena warna ini menimbulkan kultus kemegahan (Moertono, 1985; 73).

Warna kuning dalam pembagian simbolik di Jawa (mancapat), antara lain berasosiasi dengan udara, arah barat, emas, burung podhang, lautan madu, hari Pon, serta Dewa Bayu (Soehardi, 1996; 309).

Warna hijau

Warna hijau, digunakan antara lain pada sayak Lurah prajurit Patangpuluh. Pada bendera, muncul pada warna bendera Pareanom, serta bendera Papasan. Warna kedua bendera ini meniru warna buah-buahan. Warna ini adalah simbol pengharapan (Brontodiningrat, 1978; 15).

Makna Filosofis Kain Bermotif pada Bregada Prajurit

Selain dibedakan atas warna, kain yang digunakan untuk bahan dan perlengkapan busana prajurit juga bermotif. Motif yang ada antara lain adalah batik, lurik, atau cindhe.

Batik

Batik digunakan oleh para Manggala, Wadana Ageng, Pandhega (Bupati enem), Panewu Bugis juga mengenakan kain batik. Prajurit lain yang mengenakan adalah Surakarsa dan Miji Jager. Penggunaan batik (yang rumit dan relatif mahal dibanding dengan kain polos) untuk para pimpinan menunjukkan adanya hirarki secara simbolik. Kain batik dengan ragam hiasnya yang bervariasi tersebut memiliki lebih banyak makna daripada sekedar kain polos.

Lurik

Lurik dikenakan sebagai baju luar untuk pasukan-pasukan Jagakarya, Ketanggung, Mantrijero, Miji Jager, Patangpuluh, dan Langenastra, baik untuk Lurah Parentah maupun untuk Prajurit Jajar. Kain lurik bukanlah kain semahal batik dan filosofisnya juga tidak sesarat kain batik. Kain ini cenderung digunakan untuk pakaian sehari-hari seperti surjan atau pranakan. Oleh karena itu, makna kain ini cenderung kepada kesederhanaan, kesetiaan dan kejujuran. Motif lurik yang digunakan sebagai pakaian seragam prajurit kraton dinamakan Lurik Ginggang yang berarti renggang karena antara lajur warna yang sama diisi oleh lajur warna yang lain. Namun makna yang lebih dalam lagi adalah kesetiaan prajurit kepada rajanya, serta hubungan antar prajurit jangan sampai ada kerenggangan. Warna lurik yang mendekati abu-abu (abu = awu Jw.) melambangkan kasih sayang dan restu raja terhadap prajurit laksana abu yang tidak dapat dibakar api. Meskipun demikian, terdapat motif lurik yang berbeda di antara pasukan-pasukan tersebut. Dalam hal ini, perbedaan motif dapat dianggap bermakna indentitas.

Cindhe

Motif cindhe digunakan untuk celana panji-panji, lonthong (misalnya untuk manggala, prajurit Ketanggung, prajurit Patangpuluh, dan prajurit Mantrijero), serta bara (misalnya untuk Manggala, Prajurit Patangpuluh, Mantrijero). Cindhe sendiri merupakan motif tekstil pengaruh dari India. Penggunaan motif ini dapat bermakna teknis sebagai aksen dari kain-kain polos dan batik. Motif ini biasanya berdasar warna merah. Penggunaan warna ini cenderung kepada makna keberanian yang disandang oleh para prajurit.

Baris berbaris Prajurit Kraton

Meskipun untuk waktu yang lama prajurit kraton tidak terlibat peperangan, akan tetapi di masa lalu prajurit ini cukup tangguh menghadapi musuh. Dalam tradisi Jawa terdapat gelar-gelar perang, yaitu formasi perang prajurit di medan pertempuran. Gelar-gelar tersebut memiliki nama tertentu seperti Supit Urang, Garudha Nglayang, Dhirada Meta, atau Glathik Neba. Gelar ini tidak hanya digunakan sesuai dengan kondisi medan dan musuh, akan tetapi juga sesuai dengan sifat dari senapati perang dalam pertempuran itu.


Dengan bergesemya peran dan fungsi Prajurit Kraton Yogyakarta dari prajurit pertahanan keamanan ke prajurit seremonial akan mempengaruhi perubahan tugas dan kewajiban Prajurit Kraton sendiri yang lebih dititikberatkan pada peran pendukung seremonial kraton, seperti upacara Jumenengan Sultan, Upacara pada saat ada yang meninggal dunia (sedan), upacara Garebeg dan tugas seremonial lain di luar Kraton. Dalam 1 (satu) tahun, Kraton Yogyakarta menyelenggarakan upacara Garebeg tiga kali, yakni Garebeg Syawal pada tanggal 1 bulan Syawal bersamaan dengan I’edul Fitri, Garebeg Besar pada bulan Dulhijah atau bulan Besar bersamaan dengan I’edul Adha, dan Garebeg Mulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabi’ulawal (Mulud). Garebeg Mulud sendiri ada yang paling istimewa apabila Upacara Garebeg tersebut jatuh dalam tahun Dal, maka penyelenggaraan upacara dan peran prajurit kraton menjadi istimewa pula. Karena menurut perhitungan Kalender Jawa (Kalender Sultan Agung) lahirnya Nabi Muhammad S.A.VV bersamaan dengan tanggal 12 Mulud tahun Dal. Di samping ada tambahan Gunungan Grama (gunungan dengan kukus api) dan ada upacara “nJejak banon” (menendang dinding hingga jebol) oleh Sri Sultan Hamengku Buwono, masih ada perlengkapan upacara yang khusus hanya dikeluarkan dalam upacara Garebeg tahun Dal yang melibatkan peran prajurit kraton secara khusus pula.

Prajurit Kraton yang bertugas khusus untuk membawa pusaka-pusaka kraton pada upacara Garebeg Tahun Dal adalah pertama Prajurit Mantrijero, membawa Bendhe Kangjeng Kyai Tundhung Mungsuh dengan petugas Prajurit berpangkat Jeksa. Bendhe Kangjeng Kyai Sima dibawa oleh Prajurit berpangkat Sersan Mayor. Bendhe Kangjeng Kyai Udan Arum dibawa oleh Prajurit berpangkat Puliyer dan Dwaja (Klebet) Kangjeng Kyai Puja dengan Standar Kangjeng Kyai Cakra dengan petugas Dwajadara Prajurit Mantrijero. Kedua, prajurit Ketanggung membawa tombak Kangjeng Kyai Slamet dengan nyamping Kangjeng Kyai Tunggul Wulung oleh Prajurit berpangkat Puliyer. Wedhung Kangjeng Kyai Pengarab-arab di dalam gendhaga dibawa oleh Prajurit berpangkat Operwahmester (Opperwachtmeester). Dwaja (Klebet) Kangjeng Kyai Puji dengan Standar Kangjeng Kyai Nenggala dibawa oleh Dwajadara Prajurit Ketanggung. Ketiga Prajurit Wirabraja membawa Dwaja (Klebet) Kangjeng Kyai Pareanom dipasang pada Standar Kangjeng Kyai Santri. Petugasnya Dwajadara Prajurit Wirabraja yang berpangkat tua.

Urutan Berjalan dalam Defile

Urutan berjalan para prajurit ketia mengikuti upacara adat di Kraton telah ditentukan. Dalam upacara Garebeg misalnya, sebagian prajurit mendahului gunungan, sebagian prajurit berada di belakang gunungan, sebagian lagi berdiri berjajar di Alun-alun, dengan urutan tertentu, menyambut gunungan dengan tembakan salvo (drel). Dalam defile, semakin tinggi kedudukannya, semakin ke belakang. Paling depan adalah Wirabraja, paling belakang adalah Mantrijero. Ini mirip dengan yang terjadi dalam peperangan. Prajurit yang pangkat rendah dimajukan terlebih dahulu (wawancara TM, 15 Mei 2008). Pada masing-masing pasukan, urutan prajurit juga telah ditentukan, tergantung pada cara berjalan yang digunakan.

Susunan formasi kesatuan prajurit dalam lampah rikat/mars terdiri dari Ungel-ungelan – terompet berada di depan (jika ada) diikuti dengan Panji Parentah, Standar, Senjata ngajeng, Panji II, Senjata wingking, Sersan waos I, Waos dan yang paling belakang adalah Sersan waos II. Sedang formasi dalam lampah macak diawali dengan terompet (jika ada dalam kesatuan) kemudian diikuti Panji Parentah, Standar, Senjata ngajeng, Ungel-ungelan, Panji II, Senjata wingking, Sersan waos I, Waos, dan yang paling belakang adalah Sersan waos II.

Cara berjalan dalam defile

Terdapat beberapa tipe cara berjalan yang umum dilakukan oleh para prajurit. Keistimewaan yang ada adalah pada prajurit Nyutra. Mereka harus berjalan dengan menari.

Cara Memberi Hormat

Penghormatan yang dilakukan oleh para prajurit kraton berbeda dari prajurit TNI atau tentara yang lain. Penghormatan ini dilakukan dengan setengah menari. Terdapat tiga macam penghormatan yang dilakukan oleh prajurit, yaitu penghormatan besar, penghormatan kecil, serta penghormatan sambil berjalan.

Penghormatan besar

Untuk tombak dilakukan dari posisi pandi hastra (tombak dibawa menghormat ke posisi kinantang tunjung hastra. Untuk senapan dilakukan dari posisi cangklong tinggar (senapan dtcangklong di pundak) ke posisi hormat tinggar.

Penghormatan kecil

Untuk tombak dilakukan dari posisi tunjung hastra (tombak dipegang) ke tombak diangkat di depan badan. Untuk senapan dilakukan dari posisi seleh tinggar (senapan dipegang) ke hormat tinggar (senapan diangkat di depan badan).

Penghormatan Kecil (Senapan)
Penghormatan Besar (Senapan)
Penghormatan Kecil (Tombak)
Penghormatan Besar (Tombak)

Penghormatan juga dilakukan sambil berjalan, dengan menoleh ke arah yang dihormati. Penghormatan dengan bendera dilakukan dengan merebahkan bendera. Jika yang dihormati adalah Sultan -misalnya ketika prajurit berjalan di Sitihinggil dan Sultan sinewaka di sana-, maka bendera direbahkan menyentuh tanah hingga terseret berjalan.

Penghormatan kepada Sultan ketika pasukan melewati Bangsal Kencana

Aba-aba penghormatan diberikan secara berurutan. Dimulai dari aba-aba perintah penghormatan dari Panji Parentah, kepada Dwajadara, Sersan Pengamping, barisan senjata 1 dan Sersan Senjata. Diikuti aba-aba Panji II, kepada barisan senjata II, Sersan waos I, kepada Jajar waos dan diakhiri aba-aba perintah penghrtmatan Sersan waos II, kepada diri sendiri.

Aba-aba dalam Keprajuritan Kraton Yogyakarta

Dahulu, aba-aba diberikan dalam campuran bahasa Jawa dan Belanda yang telah disesuaikan. Untuk pasukan tertentu yaitu Bugis, digunakan bahasa yang sulit ditelusuri artinya; barangkali adalah bahasa dari Sulawesi yang sudah terdistorsi karena sudah melalui beberapa generasi. Aba-aba itu antara lain adalah “Jarengi mana, malembuk besom. Nancongi besara. Madhinching malembuk besara. Manyak-manyaklaeki besoro. Manyak-manyak kejojoh basoro. Walmana melumpuk besom”.

Akan tetapi, dengan semangat kebangsaan, – menjelang masuknya tentara Jepang ke Hindia Belanda pada 5 Maret 1942 dan khususnya ke Yogyakarta pada 8 Maret 1942 – Kraton Yogyakarta telah menyiapkan dan melatihkan Aba-aba Kaprajuritan Kraton Yogyakarta kepada para prajurit kraton waktu itu.

Setelah rekonstruksi pada tahun 1970-an, aba-aba diberikan dalam bahasa Jawa, menggunakan kata-kata yang sama untuk semua pasukan.

Aba-aba sikep baris"
  • “Tata baris”: : berkumpul dalam formasi baris (nglempak satata baris)
  • “Siyaga yitna” : berdiri lurus (ngadeg jejeg)
  • “Ngaso ngenggon” : istirahat di tempat (ngaso wonten papan)
  • “Rentes nganan” : lurus kanan (nyipat manengen)
  • “Rentes ngering” : lurus kiri (nyipat mangiwa)
  • “Jejeg” : kembali lurus (wangsul jejeg)
  • “Bubaran” : bubar bersama (bibar sesarengan)
  • “Ngaso” : istirahat bersama (ngaso bebarengan)
  • “Madhep nganan” : menghadap ke kanan (madhep manengen)
  • “Madhep ngering” : menghadap kiri
  • “Mlaku bareng” : berjalan bersama-sama
  • “Mlaku ngenggon” : berjalan di tempat
  • “Mlaku macak maju bareng” : berjalan macak bersama-sama
  • “Minger batik nganan” : berputar balik ke kanan (minger balik manengen)
  • “Minger balik ngering” : berputar balik ke kiri (minger balik mangiwa)
  • “Nekuk ngering” : belok dua kali ke kiri
  • “Nekuk nganan” : belok dua kali ke kanan
  • “Jangkah lumrah” : berjalan dari macak berganti ke biasa (mlampah biasa saking mlampah macak lajeng mlampah sareng biasa)
  • “Maju/mundur 1,2,3 jangkah”: maju/mundur 1,2,3 langkah
  • “Mandheg bareng” : berhenti bersama-sama
  • “Mandheg urut” : berhenti berurutan
  • “Hukur antara” : Mengukur jarak (ngukur antawis)
  • “Baris urut kacang” : barisan urut kacang
  • “Baris ngloro-ngloro” : Baris jejer dua-dua
  • “Noleh nganan” : hormat dengan menoleh ke kanan
  • “Noleh ngering” : hormat dengan menoleh ke kiri
  • “Hurmat/caos pakurmatan nganan”: hormat dengan menoleh ke kanan
  • “Hurmat ngering” : hormat dengan menoleh ke kiri
  • “Panji nganan/ngering” : panji ke kanan/ke kiri
  • “Panji mlebu barisan” : panji masuk ke barisan
  • “Methenteng asta” : tangan kiri di pinggang.
Aba-aba untuk prajurit mulai mlampah macak
  • ‘Mlampah macak maju bareng..”: (suling berbunyi bawa) … (tambur berbunyi hingga pada disambut aba ‘Gya”)
  • “Mlampah macak maju bareng..”: (tambur berbunyi ropel) … (suling berbunyi bawa dilanjutkan dengan bendhe besar disertai aba “Gya”)
  • “Mlampah macak maju bareng.,: (trompet berbunyi)… (tambur berbunyi ropel)… (disambut suling bawa diteruskan bendhe besar disertai aba “Gya”)
Aba-aba Sikep Dedamel
Sikep Sabat/pedhang
  • “Tarik pedhang” : pedang dihunus
  • “Hurmat pedhang” : hormat dengan pedang
  • “Pandi pedang” : pedang dipanggul
  • “Nyarung pedhang” : pedang disarungkan
Sikep Senjata
  • ‘Nyangklong tinggar” : senjata dicangklong
    • “Hurmat tinggar” : hormat dengan senjata
    • “Seleh tinggar’ : menurunkan senjata
    • “Cangking tinggar” : senjata dibawa
    • “Nyipat” : meluruskan
    • “Drel” : drel (senjata dibunyikan)
    • “Buwang patrum’ : peluru dikeluarkan.
Sikep Waos (tombak)
  • ‘Pandi hastra” : tombak dipanggul
    • “Kinantang tunjung hastra” : hormat dengan tombak
    • “Tunjung hastra”/”goyang tunjung hastra” : tombak diturunkan
  • ‘Maniyung hastra’ : tombak dicondongkan
  • ‘Manlawung hastra” : tombak di-lawung
    • “Mbuntar hastra” : tombak dibawa [cangking)
  • ‘Nylimpet balik” : melangkah bersilang balik
    • “Nylimpet balik tunjung hastra/pandi hastra” : melangkah bersilang balik, dilanjutkan tegak /memanggul tombak
    • “Maju ndhadhap” : melangkah ke depan dengan mendhak
    • “Mundur ndhadhap’ : berjalan mundur dengan mendhak dilanjutkan tegak, tombak dipanggul (pandi)
    • “Kumpul hastra” : tombak dikumpulkan
Sikep Towok
  • “Junjung towok” : towok diangkat
  • “Turun towok” : towok diturunkan
  • “Maniyung towok” : towok dicondongkan
  • “Kinantang wusti towok” : hormat menggunakan towok
  • “Gantang towok” : menurunkan towok dilanjutkan tegak
Aba-aba ungel-ungelan/kalasongka
  • ‘Siyaga kalasongka’ : tambur, ketipung, dhodhog dicangklong; bendhe, suling, dan sebagainya dibawa
    • “Nembang tengara” : rapel apel
    • “Tengara manggala” : penghormatan terhadap Manggala
    • “Ngumpul sajuru-juru” : menuju ke bregada/pasukan masing-masing
    • “Hampil kalasongka” : membawa alat musik
Aba-aba hormat
  • ‘Warasta kalasongka hurmat”: hormat menggunakan dedamel (peralatan) dan bunyi-bunyian. Dwaja termasuk dedamel
    • “Kinantang tunjung hastra” : hormat besar menggunakan tombak
    • “Hurmat tinggar” : hormat menggunakan senapan
    • “Kinantang wusti towok” : hormat dengan towok
    • “Hurmat pedang” : hormat dengan pedang
    • “Rubuh dwaja” : hormat dengan merebahkan bendera
    • “Hurmat” : hormat dengan menoleh ke kin atau kanan saat berjalan
Aba-aba bersama untuk semua jenis peralatan
  • “Mbujangso warasta”: tombak dan pedang dipanggul, towok diangkat, senapan dicangklong.
Aba-aba sikep dwaja
  • “Rubuh dwaja” : hormat menggunakan bendera
  • “Ngadeg dwaja” : bendera ditegakkan
  • “Pundi dwaja” : bendera dipanggul
  • “Turun dwaja” : bendera ditegakkan, seperti waos tunjung hastra.

Tugas Prajurit Kraton Yogyakarta

Secara umum, tugas prajurit Kraton seperti terlihat pada masa Sultan Hamengku Buwono I adalah melakukan pengamanan kraton, pengawalan terhadap Sultan yang sedang berada di luar kraton, pengawalan terhadap pejabat VOC yang sedang berkunjung atau tamu agung lain. Setiap kelompok prajurit memiliki tugas yang berbeda. Bregada Mantrijero bertugas sebagai pengawal Sultan pada saat diselenggarakannya upacara jumenengan di Sitihinggil. Dalam pengamanan kraton, pasukan Bugis bertugas menjaga gerbang Tarunasura dan Jagasura, pasukan Surakarsa menjaga gerbang Nirbaya dan Jagabaya. Tugas yang dilakukan prajurit adalah membuka dan menutup pintu gerbang, juga menaikkan dan menurunkan jembatan gantung.

Akan tetapi, pada masa Sultan Hamengku Buwono V hingga VIII, prajurit kraton hanya berfungsi seremonial. Mereka bertugas dalam upacara meskipun masih bertugas mengawal serta menjaga benteng.

Jika terdapat keluarga Sultan yang meninggal, pasukan prajurit merupakan atribut yang diberikan oleh kraton. Seseorang disebutkan “mendapat Bugis dan Surakarsa”, atau GKR Pembajoen (putri sulung Sultan Hamengku Buwono VIII) “mendapat lima bendera” (wawancara NJ 15 Mei 2008).

Pada masa Sultan Hamengku Buwono X, para prajurit bertugas dalam upacara-upacara yang diadakan oleh kraton. Di samping itu terdapat kegiatan rutin berkaitan dengan keamanan kraton, yaitu caos atau rondha. Prajurit juga memiliki tugas dalam pariwisata. Selain itu, bertugas pada kegiatan-kegiatan temporer seperti jumenengan, sedan (kematian), pengantin, atau menyambut tamu.

Dalam fungsi seremonial, prajurit hadir dan memiliki peran dalam upacara. Upacara-upacara tersebut adalah Garebeg, jumenengan, serta kematian. Masing-masing pasukan mempunyai peran tersendiri dalam setiap upacara.

Dalam upacara Garebeg, sebagian pasukan bertugas mengantar gunungan hingga ke halaman masjid, sebagian lainnya -yaitu Wirabraja- jika tahun Dal, berbaris satu-satu (sesiyungan) di luar regol masjid.

Galeri

Bendera

Abdi-abdi dalem berpangkat Jajar

Suasana

Daftar pustaka

  • Suwito, Yuwono Sri. 2009. Prajurit Kraton Yogyakarta: Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di Dalamnya. Yogyakarta: Dinas Pariwisata Kebudayaan Kota Yogyakarta.

Pranala luar



Sumber :
id.wikipedia.org, diskusi.biz, wiki.ggkarir.com, dsb.