Yang Dipertuan Pagaruyung

Daftar raja Malayapura
Masa Dharmasraya
Trailokyaraja1183
Tribhuwanaraja1286–1316
Masa Peralihan
Akarendrawarman1316–1347
Maharajadiraja
Adityawarman1347–1375
Ananggawarman1375–(?)
Yang Dipertuan Pagaruyung
Sultan Ahmadsyah(?)–1674
Sultan Indermasyah1674–1730
Sultan Arifin Muningsyah1780–1821
Di bawah Belanda
Regent Tanah Datar
Sultan Tangkal Alam Bagagar1821–1833
Tuan Gadang di Batipuh1833–1841
Kerabat diraja Pagaruyung
Kerajaan Inderapura
Kerajaan Negeri Sembilan
Kesultanan Siak Sri Inderapura

Yang Dipertuan Pagaruyung atau Raja Alam merupakan gelar yang dinobatkan kepada raja-raja Pagaruyung terutama semenjak periode Islam, dan merupakan salah seorang dari tiga raja Minangkabau atau dalam Bahasa Minang dikenal dengan sebutan Rajo Tigo Selo.

Etimologi

Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam secara etimologis dapat bermaksud seseorang yang menjadi tuan di Pagaruyung adalah pemimpin dunia, dan secara luas gelar ini diyakini memiliki kekuatan magis sebagai salah satu dari tiga ahli waris kekuatan besar di dunia bersama dengan Cina (Kaisar Cina) dan Romawi (Kekhalifahan di Turki) waktu itu.[1]

Dari tambo yang ada pada masyarakat Minang, sedikit banyaknya ada yang dapat dikaitkan dengan beberapa bukti sejarah, misalnya penyebutan Maharajodirajo sebagai nenek moyang mereka dapat dihubungkan dengan penemuan beberapa prasasti di pedalaman Minangkabau zaman Adityawarman yang menyebut dirinya sebagai Maharajadiraja di Malayapura.[2]

Selain itu penyebutan tuan juga sudah diperkenalkan pada zaman Aditywarman, pada salah satu prasastinya, Ananggawarman sebagai yuvaraja (putra mahkota) menyebut bapaknya sebagai Surawasawan atau "Tuan Suruaso". Sedangkan dalam Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama Adityawarman juga disebut sebagai Tuan Janaka bergelar Mantrolot Warmadewa.[3]

Selanjutnya pengaruh Islam dan perubahan politik kemungkinan juga memengaruhi struktur kekuasaan, dari tambo disebutkan bahwa hirarki kekuasaan raja Minangkabau terbagai atas Raja Alam di Pagaruyung, kemudian tingkatan berikutnya adalah Raja Adat di Buo dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga disebut Rajo Tigo Selo (Tribuana Raja), artinya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Alam. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam Bahasa Minang ialah tigo tungku sajarangan. Adanya pembagian kekuasaan ini juga diperkuat oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental yang ditulis antara tahun 1513 dan 1515, yang menyebutkan bahwa di pedalaman Minangkabau terdapat tiga raja dan salah seorang dari mereka telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya. Tercatat yang pernah memakai gelar raja alam diantaranya adalah Puti Sipanjang Rambuik 2 dengan gelar Yang Dipertuan Putri Raja Alam Minangkabau, dan putranya Remondung dengan gelar Dang Tuanku Syah Alam Raja Alam Minangkabau. Dan dua-duanya menghilang dari alam Minangkabau dalam sebuah kisah tragedi Cindua Mato.

Sementara dalam sistem pergantian raja di Minangkabau telah menggunakan sistem patrilineal[4] berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan suku yang masih tetap pada sistem matrilineal.[5]

Legitimasi

Sebagai kelanjutan dari kerajaan maritim (Sriwijaya dan Dharmasraya) memang suatu misteri yang belum terpecahkan kenapa perdagangan maritim dikuasai oleh raja yang bertahta di pedalaman Minangkabau, namun demikian raja Minangkabau atau Yang Dipertuan Pagaruyung memiliki hubungan istimewa dengan raja-raja kecil yang ditempatkan di kawasan pelabuhan, yang sekaligus berfungsi sebagai pintu masuk ke Alam Minangkabau. Raja-raja kecil itu biasanya adalah anggota keluarga kerajaan atau orang terkemuka setempat yang dilantik dan diutus oleh Yang Dipertuan Pagaruyung, dan sebagai wakil raja mereka harus memungut pajak penghasilan untuk raja. Walau kenyataannya pemungutan pajak itu sangat jarang dilakukan oleh raja Minangkabau.[6]

Peranan sakral Yang Dipertuan Pagaruyung adalah sebagai pemersatu dan menegakkan kedaulatan Alam Miangkabau sebagai satu kesatuan yang utuh, dan peranan simbolis lain adalah berkenaan dengan penentuan batas wilayah.[6] selain itu pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung juga diakui di kawasan Melayu, beberapa kerabat raja yang diundang untuk berkuasa diantaranya Yang Dipertuan Padang Nunang di Rao, Raja Ibrahim pada tahun 1677 untuk Rembau, Sungai Ujong dan Naning. Kemudian pada tahun 1773 disusul pengiriman Raja Melewar untuk Negeri Sembilan. Sementara itu tahun 1725 seorang raja kecil dari Pagaruyung juga mendirikan kesultanan Siak setelah kalah dalam perebutan kekuasaan di Johor.

Lihat Pula

Rujukan

  1. ^ Reid, Anthony (2005). An Indonesian frontier: Acehnese and other histories of Sumatra. NUS Press. ISBN 9971-69-298-8. 
  2. ^ Casparis, J.G. (1990). "An ancient garden in West Sumatra". Kalpataru (9): 40–49. 
  3. ^ Mangkudimedja, R.M., (1979), Serat Pararaton, Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP, Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  4. ^ Benda-Beckmann, Franz von (1979). "Property in social continuity: continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra". Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (86): 58. 
  5. ^ Batuah, A. Dt.; Madjoindo, A. Dt. (1959). Tambo Minangkabau dan Adatnya. Jakarta: Balai Pustaka. 
  6. ^ a b Kato, Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah. PT Balai Pustaka. ISBN 979-690-360-1. 


Sumber :
wiki.al-quran.co, id.wikipedia.org, civitasbook.com (Ensiklopedia), dsb.