Sirah

Sirah Nabawiyah (paling kiri) di antara Sirah Shahabah dan Shahabiyah, dan Sirah Tabi'in
Kitab "Sejarah Dunia", "Sirah Nabawiyah", dan "Sirah Khalifah Ar-Rasyidun"
Kitab "Sejarah Islam" karya Imam Adz-Dzahabi yang berjumlah 53 jilid
Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam dan Al-Mubarakfuri dalam terjemahan bahasa Indonesia

Sirah (teks Arab: السيرة) artinya adalah perincian hidup seseorang atau sejarah hidup seseorang.

Pengertian Sirah

Ibnu Mandzur dalam kitab Lisanul Arab menyatakan arti As-Sirah menurut bahasa adalah kebiasaan, jalan, cara, dan tingkah laku[1]. Menurut istilah umum, artinya adalah perincian hidup seseorang atau sejarah hidup seseorang.

Sirah Nabawiyah

Seringkali sirah dimaksudkan sebagai Sirah Nabawiyah, menurut istilah syar'i maksud dari As-Sirah An-Nabawiyah adalah Ilmu yang kompeten yang mengumpulkan apa yang diterima dari fakta-fakta sejarah kehidupan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam secara komprehensif dari sifat-sifatnya, etika dan moral[2].

Ruang lingkup

Sirah Nabawiyah berisi perincian kisah hidup Rasulullah, yakni asal-muasal, suku dan nasab, dan keadaan masyarakatnya, sebelum beliau dilahirkan. Kemudian berlanjut kepada kelahiran beliau, masa kecil, remaja, dewasa, pernikahan, menjadi Nabi, serta perjuangan-perjuangan beliau dalam menegakkan Islam hingga akhir hayatnya.

Perbedaan Sirah Nabawiyah dengan Sejarah

Sirah Nabawiyah dan sejarah memiliki arti yang serupa namun Sejarah bersifat lebih umum dan Sirah lebih khusus, dilihat dari sumber, perincian dan tujuannya, seperti:

  1. Sirah berasal dari kata Saraha berarti perjalanan hidup sedangkan Sejarah berasal dari kata Syajarah (syajaratun) bermaksud pohon.
  2. Sirah Nabawiyah pembahasannya bertumpu kepada perjalanan dan kisah hidup Nabi Muhammad SAW secara rinci. Pembahasan juga menekankan sifat pribadi, akhlak serta cara beliau menjalani kehidupan sehari yang bisa diteladani. Sedangkan sejarah pembahasannya hanya mengenai peristiwa-peristiwa yang dianggap penting yang terjadi pada masa lampau. Lebih difokuskan kepada perkembangan peradaban ataupun perkembangan suatu zaman.
  3. Sirah Nabawiyah bersumber hanya dari ayat Al-Quran, hadits nabi, dan riwayat para sahabat beliau. Sedangkan sejarah melalui sumber primer (bukti-bukti dan rujukan yang kukuh), sekunder (penyelidikan), dan lisan (saksi).
  4. Sirah mengkhususkan kepada seseorang individu sedangkan sejarah kepada peristiwa dan pelakunya.
  5. Kedudukan fakta Sirah Nabawiyah tidak bisa berubah karena kejadian telah tercatat di dalam al-Quran, hadits dan riwayat sahabat (tidak ada yang baru). Sedangkan sejarah bisa saja berubah dengan ditemukannya sumber ataupun bukti yang lebih awal (baru) atau jelas dari sumber sebelumnya (lebih tua)[3].
  6. Sirah Nabawiyah bertujuan sebagai pemberi teladan, contoh dan pendukung sejarah Islam.

Versi Sirah Nabawiyah

Diantara versi Sirah Nabawiyah yang diterima dan memiliki kedudukan adalah:

  1. Sirah Ibnu Hisyam, yakni sirah yang dianggap sebagai sirah tertua yang masih tersedia saat ini dari kalangan Sunni.
  2. Rahiqul Makhtum karya Al-Mubarakfurri, yakni sirah nabawiyah yang memiliki kriteria ketat dalam penyusunan dan hanya memasukan riwayat yang benar-benar shahih. Kitab ini mendapat peringkat pertama dalam kompetisi Penulisan Sirah Nabawiyah yang diselenggarakan oleh Rabithah Alam Islami. Kitab ini menjadi populer dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
  3. Sirah Ibnu Ishaq, yakni sirah nabawiyah yang telah hilang buku aslinya, sedangkan yang beredar sekarang ini adalah hasil saduran para ulama dari Sirah Ibnu Hisyam.

Sirah Nabawiyah kemudian disusun oleh penulis kontemporer baik dari kalangan Muslim maupun orientalis, hanya saja sumber yang digunakan kadangkala dikritik, mulai dari keshahihan riwayatnya, pendapat pribadi, dan sumber yang bertentangan atau campur aduk[4]

Rujukan

  1. ^ Lisanul Arab, Ibnul Mandzur
  2. ^ http://asiri.net/seerah/seerah.htm
  3. ^ http://lagendahawa.blogspot.com/2013/ 01/pim-sirah-perbandingan-sirah-dan-s ejarah.html
  4. ^ Yakni mencampur atau menggunakan salah satu sumber dari Sunni dan Syi'ah, padahal keduanya berbeda pendapat dalam hal tersebut. Misal ketika Sunni menolak kevalidan riwayat Syi'ah atau sebaliknya.


Sumber :
id.wikipedia.org, indonesia-info.net, wiki.program-reguler.co.id, dsb.