Penerimaan Mahasiswa Baru Kelas Malam, Kelas Online, Kelas Karyawan

Cari di Buku Ensiklopedia Online   
Indeks Artikel: A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 +.- Daftar isi | Manual book
Artikel sebelumnya  (Demografi Indonesia)(DemokrasiArtikel berikutnya

Demokrasi liberal

Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah.[1] Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.[2]

Demokrasi liberal pertama kali dikemukakan pada Abad Pencerahan oleh penggagas teori kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau. Semasa Perang Dingin, istilah demokrasi liberal bertolak belakang dengan komunisme ala Republik Rakyat. Pada zaman sekarang demokrasi konstitusional umumnya dibanding-bandingkan dengan demokrasi langsung atau demokrasi partisipasi.

Demokrasi liberal dipakai untuk menjelaskan sistem politik dan demokrasi barat di Amerika Serikat, Britania Raya, Kanada. Konstitusi yang dipakai dapat berupa republik (Amerika Serikat, India, Perancis) atau monarki konstitusional (Britania Raya, Spanyol). Demokrasi liberal dipakai oleh negara yang menganut sistem presidensial (Amerika Serikat), sistem parlementer (sistem Westminster: Britania Raya dan Negara-Negara Persemakmuran) atau sistem semipresidensial (Perancis).

== Referensi ==

  1. ^ Blackwell Dictionary of Modern Social Thought, Blackwell Publishing 2003, p. 148
  2. ^ "Democracy and Citizenship: Glossary". American politics. The University of Texas at Austin. Retrieved 2004-08-09. 

Krisis dan kritik terhadap model demokrasi liberal sebenarnya sudah jauh hari diingatkan oleh beberapa kalangan. Kritik terhadap demokrasi datang dari tradisi Marxisme – utamanya Lenin – yang menyebut bahwa demokrasi sebenarnya adalah siasat kaum borjuis. Lenin mengolok demokrasi liberal sebagai kediktatoran kaum borjuis (the dictatorship of borguise), dimana instrumen dan sumberdaya kekuasaan yang berupa hukum, ekonomi dan politik terkonsentrasi pada segelintir kelompok borjuis saja. Karena itu, alih-alih berpihak kepada kesejahteraan proletar, model demokrasi ini hanya akan menghasilkan model politik massa mengambang serta lahirnya oligarkh dan teknokrat politik yang enggan berbaur dan menjawab tuntutan serta penderitaan rakyat. Tidak hanya pada tradisi marxisme, kritik terhadap demokrasi liberal juga datang dari kalangan pendukungnya sendiri. Ironi ini bermula dari teoretisi demokrasi Joseph Schumpeter yang menafsirkan demokrasi hanya terbatas sebagai mekanisme memilih pemimpin melalui pemilu yang kompetitif dan adil. Senada dengan itu, Samuel P. Huntington, sama naifnya dengan Schumpeter, juga menyanyikan nada yang seirama. Bagi Huntington, kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang kompetitif, adil, jujur dan berkala dan partisipasi rakyat yang tinggi selama pemilu. Cita-cita mulia demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat dibutuhkan dan ditambang hanya ketika pemilu datang. Setelah itu, suara rakyat ditendang dan dikhianati; kebijakan publik tidak lagi memihak rakyat, harga-harga semakin mahal, penggusuran dimana-mana, BBM dinaikkan, pendidikan dan kesehatan dikomersialisasikan, kemiskinan dan pengangguran tetap saja berkembang biak. Demokrasi, dalam cita-cita yang sesungguhnya, perlahan-lahan mati. Dalam konteks ini kritik Geoff Mulgan terhadap paradoks demokrasi sangat tepat dan jitu. Ada tiga hal pokok dalam kritiknya terhadap demokrasi. Pertama, demokrasi cenderung melahirkan oligarki dan teknokrasi. Bagaimana mungkin tuntutan rakyat banyak bisa diwakili dan digantikan oleh segelintir orang yang menilai politik sebagai karier untuk menambang keuntungan finansial? Kedua, prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan kompetisi juga telah dibajak oleh kekuatan modal. Yang disebut keterbukaan, hanya berarti keterbukaan untuk berusaha bagi pemilik modal besar, kebebasan artinya kebebasan untuk berinvestasi bagi perusahaan multinasional, kompetisi dimaknai sebagai persaingan pasar bebas yang penuh tipu daya. Ketiga, media yang mereduksi partisipasi rakyat. Kelihaian media mengemas opini publik membuat moralitas politik menjadi abu-abu, juga cenderung menggantikan partisipasi rakyat. Ini berujung pada semakin kecil dan terpinggirkannya ‘partisipasi langsung’ dan ‘kedaulatan langsung’ rakyat. Tidak hanya itu, sesat pikir kaum demokrasi prosedural juga karena ia menyembunyikan fakta tentang negara dan kekuasaan. Negara, seperti kita semua maklum, adalah tempat akses dan relasi ekonomi, politik, hukum berlangsung. Karena itu, sistem demokrasi juga berhadapan dengan masalah ekonomi. Negara dan sistem demokrasi juga berhubungan dengan masalah bagaimana menciptakan kesejahteraan, bagaimana menjalankan dan mengatur finansial sebuah negara. Karena itu negara membutuhkan sebuah persekutuan yang taktis dan cepat. Karena hanya model ekonomi kapitalisme yang tersedia – yang bertumpu pada kekuatan modal besar -, maka demokrasi membutuhkan kapitalisme, begitu juga sebaliknya. Dari sini, persekutuan najis itu mulai tercipta. Di ujung jalan, tampaknya kapitalismelah yang berkuasa. Atas nama kemajuan dan perdagangan bebas, ia mulai mengangkangi negara. Atas nama pertumbuhan ekonomi, ia mulai menyiasati demokrasi. Lalu muncullah makhluk lama dengan baju yang baru: neoliberalisme. Sebuah makhluk yang mengendap-endap muncul, lalu menjalankan taktik “silent takeover”. Istilah terakhir ini dipinjam dari Noreena Heertz, artinya kurang lebih sebuah penjajahan yang terselubung.



Sumber :
wiki.al-quran.co, id.wikipedia.org, civitasbook.com (Ensiklopedia), dsb.