Mohammad Hatta
Dr. Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Muhammad Athar, populer sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Bandar udara internasional Jakarta, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat. Pada tahun 1980, ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986/[1]
Daftar isi
- Kehidupan awal
- Perjuangan & pergerakan
- Meninggal Dunia
- Pendidikan
- Perjalanan Karir
- Penghargaan
- Karya Tulis
- Keluarga
- Lihat pula
- Catatan bawah
- Referensi
- Bacaan lanjutan
- Pranala luar
Kehidupan awal
Latar belakang
Mohammad Hatta lahir dari keluarga pedagang di Batuhampar, kenagarian yang terletak di antara Payakumbuh dan Bukittinggi. Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada 12 Agustus 1902 dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha. Namanya, Athar berasal dari bahasa Arab, yang berarti "harum". Ia merupakan anak kedua, setelah Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Abdurahman Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari surau yang bertahan pasca-Perang Padri. Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.
Ayahnya meninggal pada saat ia masih berumur tujuh bulan. Setelah kematian ayahnya, ibunya menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang, Haji Ning sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu. Dari perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning, mereka dikaruniai empat orang anak, yang kesemuanya adalah perempuan.
Pendidikan dan pergaulan
Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta. Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya. Namun, pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga. Ia lalu pindah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913, kemudian melanjutkan ke MULO sampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah ditempa ilmu-ilmu agama sejak kecil. Ia pernah belajar agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya. Selain keluarga, perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap perekonomian. Di Padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Usaha dan juga aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara. Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School. Mohammad Hatta tetap menjadi bendahara di Jakarta.
Kakeknya bermaksud akan ke Mekkah, dan pada kesempatan tersebut, ia dapat membawa Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran di bidang agama, yakni ke Mesir (Al-Azhar). Ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas surau di Batu Hampar yang memang sudah menurun semenjak ditinggalkan Syaikh Abdurrahman. Tapi, hal ini diprotes dan mengusulkan pamannya, Idris untuk menggantikannya. Menurut catatan Amrin Imran, Pak Gaeknya kecewa dan Syekh Arsyad pada akhirnya menyerahkan kepada Tuhan.
Perjuangan & pergerakan
1921-1932: Sewaktu di Belanda
Hatta (pertama dari kanan) bersama para pengurus
Perhimpunan Indonesia, pada waktu itu (tahun
1925) Hatta masih berstatus seorang bendahara di situ
Pergerakan politik ia mulai sewaktu bersekolah di Belanda dari 1921-1932. Ia bersekolah di Handels Hogeschool (kelak sekolah ini disebut Economische Hogeschool, sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam), selama bersekolah di sana, ia masuk organisasi sosial Indische Vereniging yang kemudian menjadi organisasi politik dengan adanya pengaruh Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker. Pada tahun 1923, Hatta menjadi bendahara dan mengasuh majalah Hindia Putera yang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Pada tahun 1924, organisasi ini berubah nama menjadi Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia; PI).
Pada tahun 1926, ia menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Sebagai akibatnya, ia terlambat menyelesaikan studi. Di bawah kepemimpinannya, PI mendapatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia dengan memberikan banyak komentar, dan banyak ulasan di media massa di Indonesia. Setahun kemudian, ia seharusnya sudah berhenti dari jabatan ketua, namun ia dipilih kembali hingga tahun 1930. Pada Desember 1926, Semaun dari PKI datang kepada Hatta untuk menawarkan pimpinan pergerakan nasional secara umum kepada PI, selain itu dia dan Semaun membuat suatu perjanjian bernama "Konvensi Semaun-Hatta". Inilah yang dijadikan alasan Pemerintah Belanda ingin menangkap Hatta. Waktu itu, Hatta belum meyetujui paham komunis. Stalin membatalkan keinginan Semaun, sehingga hubungan Hatta dengan komunisme mulai memburuk. Sikap Hatta ini ditentang oleh anggota PI yang sudah dikuasai komunis.
Pada tahun 1927, ia mengikuti sidang "Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan Nasional" di Frankfurt.[a] Dalam sidang ini, pihak komunis dan utusan dari Rusia namapak ingin menguasai sidang ini, sehingga Hatta tidak bisa percaya terhadap komunis. Pada waktu itu, majalah PI, Indonesia Merdeka masuk dengan mudah ke Indonesia lewat penyelundupan, karena banyak penggeledahan oleh pihak kepolisian terhadap kaum pergerakan yang dicurigai.
Mohammad Hatta bersama Abdulmadjid Djojohadiningrat, Nazir Datuk Pamuntjak, dan
Ali SastroamidjojoPada 25 September 1927, Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Madjid Djojohadiningrat ditangkap oleh penguasa Belanda atas tuduhan mengikuti partai terlarang yang dikait-kaitkan dengan Semaun, terlibat pemberontakan di Indonesia yang dilakukan PKI dari tahun 1926-1927, dan menghasut supaya menentang Kerajaan Belanda. Moh. Hatta sendiri dihukum tiga tahun penjara. Mereka semua dipenjara di Rotterdam. Dia juga dituduh akan melarikan diri, sehingga dia yang sedang memperkenalkan Indonesia ke kota-kota di Eropa sengaja pulang lebih cepat begitu berita ini tersebar.
Semua tuduhan tersebut, ia tolak dalam pidatonya "Indonesia Merdeka" (Indonesie Vrij) pada sidang kedua tanggal 22 Maret 1928. Pidato ini sampai ke Indonesia dengan cara penyelundupan. Ia juga dibela 3 orang pengacara Belanda yang salah satunya berasal dari parlemen. Yang dari parlemen, bernama J.E.W. Duys. Tokoh ini memang bersimpati padanya. Setelah ditahan beberapa bulan, mereka berempat dibebaskan dari tuduhan, karena tuduhan tidak bisa dibuktikan.
Sampai pada tahun 1931, Mohammad Hatta mundur dari kedudukannya sebagai ketua karena hendak mengikuti ujian sarjana, sehingga ia berhenti dari PI; namun demikian ia akan tetap membantu PI. Akibatnya, PI jatuh ke tangan komunis, dan mendapat arahan dari partai komunis Belanda dan juga dari Moskow. Setelah tahun 1931, PI mengecam keras kebijakan Hatta dan mengeluarkannya dari organisasi ini.
PI di Belanda mengecam sikap Hatta sebab ia bersama Soedjadi mengkritik secara terbuka terhadap PI. Perhimpunan menahan sikap terhadap kedua orang ini.
Pada Desember 1931, para pengikut Hatta segera membuat gerakan tandingan yang disebut Gerakan Merdeka yang kemudian bernama Pendidikan Nasional Indonesia yang kelak disebut PNI Baru. Ini mendorong Hatta dan Syahrir yang pada saat itu sedang bersekolah di Belanda untuk mengambil langkah kongkret untuk mempersiapkan kepemimpinan di sana. Hatta sendiri merasa perlu untuk menyelesaikan studinya terlebih dahulu. Oleh karenanya, Syahrir terpaksa pulang dan untuk memimpin PNI. Kalau Hatta kembali pada 1932, diharapkan Syahrir dapat melanjutkan studinya.
1932-1941: Diasingkan ke Digul dan Banda Neira
Sekembalinya ia dari Belanda, ia ditawarkan masuk kalangan Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP) untuk menjadi anggota parlemen Belanda, dan menjadi perdebatan hangat di Indonesia pada saat itu. Ini dikarenakan ia berpendapat bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi anggota dalam parlemen Belanda. Sebenarnya dia menolak masuk, dengan alasan ia perlu berada dan berjuang di Indonesia. Namun, pemberitaan di Indonesia mengatakan bahwa Hatta menerima kedudukan tersebut, sehingga Soekarno menuduhnya tidak konsisten dalam menjalankan sistem non-kooperatif.
Setelah Hatta kembali dari Belanda, Syahrir tidak bisa ke Belanda karena keduanya keburu ditangkap Belanda pada 25 Februari 1934 dan dibuang ke Digul, dan selanjutnya ke Banda Neira. Baik di Digul maupun Banda Neira, ia banyak menulis di koran-koran Jakarta, dan ada juga untuk majalah-majalah di Medan. Artikelnya tidak terlalu politis, namun bersifat lebih menganalisis dan mendidik pembaca. Ia juga banyak membahas pertarungan kekuasaan di Pasifik.
Mohammad Hatta (kedua dari kanan) di Digul semenjak 1935
Semasa diasingkan ke Digul, ia membawa semua buku-bukunya ke tempat pengasingannya. Di sana, ia mengatur waktunya sehari-hari. Pada saat hendak membaca, ia tak mau diganggu. Sehingga, beberapa kawannya menganggap dia sombong. Ia juga merupakan sosok yang peduli terhadap tahanan. Ia menolak bekerja sama dengan penguasa setempat, misalnya memberantas malaria. Apabila ia mau bekerja sama, ia diberi gaji f 7.50 sebulan. Namun, kalau tidak, ia hanya diberi gaji f 2.50 saja. Gajinya itu tidak ia habiskan sendiri. Ia juga peduli terhadap kawannya yang kekurangan.
Di Digul, selain bercocok tanam, ia juga membuat kursus kepada para tahanan. Di antara tahanan tersebut, ada beberapa orang yang ibadah shalat dan puasanya teratur; baik dari Minangkabau maupun Banten. Tapi, mereka ditangkap karena -pada umumnya- terlibat pemberontakan komunis. Pada masa itu, ia menulis surat untuk iparnya untuk dikirimi alat-alat pertukangan seperti paku dan gergaji. Selain itu, dia juga menceritakan nasib orang-orang buangan dalam surat itu. Kemudian, ipar Hatta mengirim surat itu ke koran Pemandangan di Jakarta dan segera surat itu dimuat. Surat itu dibaca menteri jajahan pada saat itu, Colijn. Colijn mengecam pemerintah dan segera mengirim residen Ambon untuk menemui Hatta di Digul. Maka uang diberikan untuknya, Hatta menolak dan ia juga meminta supaya kalau mau ditambah, diberikan juga kepada pemimpin lain yang hidup dalam pembuangan.
Pada 1937, ia menerima telegram yang mengatakan dia dipindah dari Digul ke Banda Neira.[b] Hatta pindah bersama Syahrir pada bulan Februari di tahun itu, dan mereka menyewa sebuah rumah yang cukup besar. Di situ, ada beberapa kamar dan ruangan yang cukup besar. Adapun ruangan besar itu digunakannya untuk menyimpan bukunya dan tempat bekerjanya.
Sewaktu di Banda Neira, ia bercocok tanam dan menulis di koran "Sin Tit Po" (dipimpin Lim Koen Hian; bulanan ini berhenti pada 1938) dengan honorarium f 75 dalam Bahasa Belanda. Kemudian, ia menulis di Nationale Commantaren (Komentar Nasional; dipimpin Sam Ratulangi) dan juga, ia menulis di koran Pemandangan dengan honorarium f 50 sebulan per satu/dua tulisan. Hatta juga pernah menerima tawaran Kiai Haji Mas Mansur untuk ke Makassar, dia menolak dengan alasan kalaupun dirinya ke Makassara dia masih berstatus tahanan juga. Waktu itu, sudah ada Cipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri. Mereka semua sudah saling mengenal.
Selain itu, di Banda Neira, Hatta juga mengajar kepada beberapa orang pemuda. Anak dr. Cipto belajar tata-buku dan sejarah. Ada juga anak asli daerah Banda Neira yang belajar kepada Hatta. Ada seorang kenalan Hatta dari Sumatera Barat yang mengirimkan dua orang kemenakannya untuk belajar ekonomi dan juga sejarah. Selain itu, dari Bukittinggi dikirim Anwar Sutan Saidi sebanyak empat orang pemuda yang belajar kepada Hatta.
Pada tahun 1941, Mohammad Hatta menulis artikel di koran Pemandangan yang isinya supaya rakyat Indonesia jangan memihak kepada baik ke pihak Barat ataupun fasisme Jepang. Kelak, di zaman Jepang tulisan Hatta dijadikan bahan oleh penguasa Jepang untuk tidak percaya Hatta selama Perang Pasifik. Yang mana, kelak tulisan Hatta dibaca Murase, seorang Wakil Kepala Kenpeitei (dinas intelijen) dan menyarankan Hatta agar mengikuti Nippon Sheisin di Tokyo pada November 1943.
1942-1945: Penjajahan Jepang
Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Ini memicu Perang Pasifik, dan setelah Pearl Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Dalam keadaan genting tersebut, Pemerintah Belanda memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena khawatir kerjasama dengan Jepang. Hatta dan Syahrir dipindahkan pada Februari 1942, ke Sukabumi setelah menginap sehari di Surabaya dan naik kereta api ke Jakarta. Bersama kedua orang ini, turut pula 3 orang anak-anak dari Banda yang dijadikan anak angkat oleh Syahrir.
Setelah itu, ia dibawa kembali ke Jakarta. Ia bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke Indonesia. Harada menawarkan kerjasama dengan Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan penting. Hatta menolak, dan memilih menjadi penasihat. Ia dijadikan penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan Timur dan rumah di Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro). Orang terkenal di masa sebelum perang, baik orang pergerakan, atau mereka yang bekerjasama dengan Belanda, diikut sertakan seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno Mangunkususmo, Sunarjo Kolopaking, Supomo, dan Sumargo Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat tenaga-tenaga baru. Pekerjaan di sini, merupakan tempat saran oleh pihak Jepan. Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasehat yang menguntungkan mereka, malah Hatta memanfaatkan itu untuk membela kepentingan rakyat.
Setelah Indonesia Merdeka (1945 - 1980)
Pada awal Agustus 1945, nama Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan berganti nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Soekarno sebagai Ketua dan Hatta sebagai Wakil Ketua.
Sehari sebelum hari kemerdekaan dikumandangkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengadakan rapat di rumah Admiral Maeda. Panitia yang hanya terdiri dari Soekarno, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti tersebut merumuskan teks proklamasi yang akan dibacakan keesokan harinya dengan tanda tangan Soekarno dan Hatta atas usul Soekarni.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 di jalan Pagesangan Timur 56 tepatnya pukul 10.00 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hatta sebagai Wakil Presiden.
Berita kemerdekaan Republik Indonesia telah tersohor sampai Belanda. Sehingga, Belanda berkeinginan kembali untuk menjajah Indonesia. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, pemerintahan Republik Indonesia dipindah ke Jogjakarta. Ada dua kali perundingan dengan Belanda yang menghasilkan perjanjian linggarjati dan perjanjian Reville. Namun, kedua perjanjian tersebut berakhir kegagalan karena kecurangan Belanda.
Pada Juli 1947, Hatta mencari bantuan ke India dengan menemui Jawaharhal Nehru dan Mahatma Gandhi. Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan melakukan protes terhadap tindakan Belanda dan agar dihukum pada PBB. Banyaknya kesulitan yang dialami oleh rakkyat Indonesia memunculkan aksi pemberontakan oleh PKI sedangkan Soekarno dan Hatta ditawan ke Bangka. Selanjutnya kepemimpinan perjuangan dipimpin oleh Jenderal Soedirman.
Perjuangan rakyat Indonesia tidak sia-sia. Pada tanggal 27 desembar 1949, Ratu Juliana memberikan pengakuan atas kedaulatan Indonesia kepada Hatta.
Setelah kemerdekaan mutlak Republik Indonesia, Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan. Dia juga masih aktif menulis berbagai macam karangan dan membimbing gerakan koperasi sesuai apa yang dicita-citakannya. Tanggal 12 Juli 1951, Hatta mengucapkan pidato di radio mengenai hari jadi Koperasi dan selang hari lima hari kemudian dia diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia.
Meninggal Dunia
Hatta menikah dengan Rachim Rahmi pada tanggal 18 November 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Pasangan tersebut dikaruniai tiga orang putri yakni Meutia, Gemala, dan Halida.
Pada tanggal 14 Maret 1980 Hatta wafat di RSUD dr. Cipto Mangunkusumo. Karena perjuangannya bagi Republik Indonesia sangat besar, Hatta mendapatkan anugerah tanda kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" yang diberikan oleh Presiden Soeharto.
Pendidikan
- Sekolah Dasar Melayu Fort de kock, Minangkabau (1913-1916)
- Europese Lagere School (ELS) di Bukittinggi (lulus 1916)
- Meer Vitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang (lulus 1919)
- Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang) di Jakarta (lulus 1921)
- Nederland Handelshogeschool di Rotterdam, Belanda (tamat 1932)
Perjalanan Karir
- Bendahara Jong Sumatranen Bond di Padang (1916-1919)
- Bendahara Jong Sumatranen Bond di Jakarta dan mengurus majalah Jong Sumatra (1920-1921)
- Menjadi anggota Indonesische Vereniging (ketika belajar di Belanda) yang kemudian berubah menjadi Perhimpoenan Indonesia, dan menjadi DewanRedaksi majalah Indonesia Merdeka (1922-1925)
- Ketua Pemuda Indonesia di Belanda (1925-1930)
- Sebagai wakil Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, berkedudukan di Berlin (1927-1931)
- Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
- Ikut Konggres Demokratique International IV di Beirvile, Paris (1936)
- Ditangkap dan dipenjara di Den Haag, Belanda (23 September 1927-22 Maret 1928) karena tulisan-tulisannya di Majalah Indonesia Merdeka
- Kembali ke Indonesia (1932)
- Ketua Partai Pendidikan Nasional Indonesia (lazim disebut PNI baru) dan menangani majalah Daulat Rakyat (1934-1935)
- Dipenjarakan pemerintah Hindia Belanda di Glodok, Jakarta (1934)
- Dibuang ke Boven Digul, Papua (1934-1935)
- Dibuang ke Banda Naira (1935-1942)
- Dipindahkan ke Penjara di Sukabumi (Februari 1942)
- Dibebaskan dari penjara (9 Maret 1942)
- Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Dai Nippon (April 1942)
- Diangkat menjadi salah satu pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera-1943)
- Anggota Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan-Mei 1945)
- Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI-7 Agustus 1945)
- Memproklamasikan Kemerdekaan RI bersama Soekarno (17 Agustus 1945)
- Wakil Presiden Indonesia I (18 Agustus 1945-1 Desember 1956)
- Mengeluarkan Maklumat Nomor X (16 Oktober 1945) yang memberikan kekuasaan untuk menentukan Garis-garis Besar Haluan Negara kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
- Mengeluarkan Maklumat Politik (1 November 1945) yang antara lain menyatakan bahwa Indonesia bersedia menyelesaikan sengketa dengan Belanda dengan cara diplomasi
- Mengeluarkan Maklumat (3 November 1945) yang membuka peluang berdirinya partai-partai politik
- Wakil Presiden merangkap sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (29 Januari 1948-Desember 1949)
- Ketua Delegasi Indonesia ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)
- Wakil Presiden merangkap sebagai Perdana Menteri dan Menlu dalam Kabinet RIS (Desember 1949-Agustus 1950)
- Menjadi Dosen di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat di Bandung (1951-1961)
- Menjadi Dosen di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta (1954-1959)
- Dosen Luar Biasa pada Universitas Hasanuddin (1966-1971)
- Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi tentang masalah korupsi (1969)
- Dosen Luar Biasa Universitas Padjajaran Bandung (1967-1971)
- Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila (1975)
Penghargaan
- Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada (1956)
- Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Hasanuddin (1973)
- Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia (1975)
- Menerima tanda jasa Bintang Republik dari Presiden Soeharto (15 Agustus 1972)
- Bapak koperasi Indonesia
- Gelar Pahlawan Proklamator (Keppres No. 81/TK/1986, tanggal 23 Oktober 1986)
- Gelar Pahlawan Nasional (Keppres No. 84/TK/2012, tanggal 7 November 2012)
Karya Tulis
- Economische wereldbouw en machtstegenstellingen (1926)
- L'Indonesie et son problema de I’Independence (1927)
- Indonesia Vrij (1928)
- Tujuan dan Politik Pergerakan Nasional Indonesia (1931)
- Krisis Ekonomi dan Kapitalisme (1934)
- Perjanjian Volkenbond (1937)
- Mencari Volkenbond dari Abad ke Abad (1939)
- Rasionalisasi (1939)
- Penunjuk bagi Rakyat dalam Ekonomi, Teori, dan Praktek (1940)
- Alam Pikiran Yunani (1941)
- Perhubungan Bank dan Masyarakat di Indonesia (1942)
- Beberapa Pasal Ekonomi (1943)
- Portrait of a Patriot, Selected Writings (1972)
- Pikiran-pikiran dalam bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran yang Merata (1974)
- Mohammad Hatta Memoir (1979)
Keluarga
- Istri: Rahmi Hatta
- Anak:
- 1. Meutia Farida Hatta (21 Maret 1947)
- 2. Gemala Rabi’ah Hatta (1953)
- 3. Halidah Nuriah Hatta (25 Januari 1956)
- Orang tua Hatta:
- Kakek Hatta: Syekh Abdurrahman (dikenal sebagai Syekh Batuhampar)
- Bapak: Haji Muhammad Djamil (Ulama dari Batuhampar, Kabupaten Limapuluh Kota)
- Ibu: Saleha (Keluarga pengusaha terpandang dari Bukittinggi)
- Bung Hatta adalah anak bungsu dalam keluarga dengan rincian sebagai berikut:
- 1. Halimah (kakak, satu ayah lain ibu)
- 2. Rabiah (kakak, satu ayah lain ibu)
- 3. Rafiah (satu ayah, satu ibu)
- 4. Bung Hatta (anak bungsu)
Lihat pula
Catatan bawah
- ^ Nama aslinya adalah "Liga tegen Imperialisme, tegen Koloniale Onderdrukking en voor Nationale Onafhankelijkheid" (Noer 2012, hal. 21).
- ^ Sementara Amrin Imran menulis Hatta pindah ke Banda Neira pada 1937, Deliar Noer malah menulis pada tahun 1936 (Noer 2012, hal. 52).
Referensi
- ^ Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia, Departemen Sosial RI Online, Januari 2010. Diakses 26 Agustus 2012.
Daftar pustaka
- Imran, Amrin (1991). Mohammad Hatta:Pejuang, Proklamator, Pemimpin, Manusia Biasa. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. OCLC 9072338.
- Noer, Deliar (2012). In Jaap Erkelens. Mohammad Hatta:Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-709-633-5.
Bacaan lanjutan
- Hatta, Mohammad, Mohammad Hatta Memoir, Tinta Mas Jakarta, 1979
- Deliar Noer. 1990. Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.
- Greta O. Wilson (ed.). 1978. Regents, reformers, and revolutionaries: Indonesian Voices of Colonial Days. Asian Studies at Hawaii, no 21. The University Press of Hawaii.
- George McTurnan Kahin. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press.
Pranala luar
- (Indonesia) "Sang Proklamator" Bio Mohammad Hatta di Ensiklopedi Tokoh Indonesia
- (Indonesia) Turun Gunung: Bung Hatta 11 Tahun di Belanda (20 September 1921 - 20 Juli 1932)
|
---|
| Sejarah | | |
---|
| Tokoh terkait | |
---|
| Badan terkait | |
---|
| Hal terkait | |
---|
|
Sumber (Referensi) :
ensiklopedia.web.id, ensiklopedia-dunia.nomor.net, Kementerian Sosial RI, tamanmakampahlawan.com, indonesia.go.id, civitasbook.com, google.com, google.co.id, books.google.co.id, Wikipedia (id.wikipedia.org, en.wikipedia.org, nl.wikipedia.org), tni.mil.id, antaranews.com, kpt.co.id, merdeka.com, pahlawanindonesia.com, indonesiaindonesia.com, tokohindonesia.com, Laniratulangi's Blog, ptkpt.net, kompas.com, detik.com, sindonews.com, tempo.co, pahlawancenter.com, metrotvnews.com, news.liputan6.com, badanbahasa.kemdikbud.go.id, indonesia-ottawa.org, sejarahkita.blogspot.com, gillandgroup.com, id.inti.or.id, suarasumsel.com, New York Times, indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com, pondokpesantren.net,kurikulum.org, smpn1rantaupandan.blogspot.com, garudamiliter.blogspot.com, adadiindonesiamiliter.blogspot.com, muhammadiyahstudies.blogspot.com, Museum Antropologis di Amsterdam Belanda, nl-free.info, dbnl.org, dsb.