Menyerahnya Jepang

 

Pasifik Tengah

Asia Tenggara

Pasifik Barat Daya

Amerika Utara

  • Kepulauan Aleutian
  • Ellwood
  • Estevan Point Lighthouse
  • Fort Stevens
  • Lookout Air Raids
  • Balon api
  • Proyek Hula

Jepang

Manchuria

  • Manchuria (1945)
  • Sakhalin
  • Kep. Kuril
  • Shumshu

Perang Tiongkok-Jepang Kedua
Disaksikan Jenderal Richard K. Sutherland, Menteri Luar Negeri Jepang Mamoru Shigemitsu menandatangani Dokumen Kapitulasi Jepang di atas kapal USS Missouri, 2 September 1945.

Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai akhir Perang Dunia II. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak ada sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun keinginan untuk melawan hingga titik penghabisan dinyatakan secara terbuka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni Soviet untuk berperan sebagai mediator dalam perjanjian damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga bersiap-siap untuk menyerang Jepang dalam usaha memenuhi janji kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi Yalta.

Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria (Manchukuo) yang melanggar Pakta Netralitas Soviet–Jepang. Kaisar Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer untuk menerima syarat-syarat yang ditawarkan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar selama beberapa hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di hadapan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang disebut Gyokuon-hōsō (Siaran Suara Kaisar), Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.

Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi diadakan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II. Penduduk sipil dan anggota militer di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day). Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di pelosok-pelosok Asia menolak untuk menyerah selama berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun setelah Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berdebat tentang etika penggunaan bom atom. Perang antara Jepang dan Sekutu secara resmi berakhir ketika Perjanjian San Francisco mulai berlaku pada tanggal 28 April 1952. Empat tahun kemudian Jepang dan Uni Soviet menandatangani Deklarasi Bersama Soviet–Jepang 1956 yang secara resmi mengakhiri perang antara kedua negara tersebut.

Kekalahan Jepang

Pendaratan Sekutu di Medan Perang Operasi Samudra Pasifik, Agustus 1942 hingga Agustus 1945.

Pada tahun 1945, Jepang telah hampir dua tahun berturut-turut mengalami kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō diangkat sebagai perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang menyatakan Filipina sebagai tempat pertempuran berikutnya yang menentukan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang diganti oleh Laksamana Kantarō Suzuki. Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu berhasil merebut Iwo Jima dan Okinawa. Setelah diduduki Sekutu, Okinawa dijadikan daerah singgahan untuk menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Setelah kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping sekitar empat puluh divisi yang telah ditempatkan di sana sejak tahun 1941, sebagai penyeimbang kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]

Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di lepas pantai Jepang telah menghancurkan sebagian besar armada dagang Jepang. Sebagai negara dengan sedikit sumber daya alam, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[4] Penghancuran armada dagang Jepang, ditambah dengan pengeboman strategis kawasan industri di Jepang telah meruntuhkan ekonomi perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya tersedia dalam jumlah kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.[5][6]

Kapal tempur Jepang Haruna karam di tempat bersandarnya di pangkalan angkatan laut Kure pada peristiwa Pengeboman Kure 24 Juli 1945.

Sebagai akibat kerugian yang dialami, kekuatan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepang di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang yang tersisa hanyalah enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur. Namun, semua kapal tersebut tidak memiliki bahan bakar yang cukup. Walaupun masih ada 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang masih operasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas akibat kekurangan bahan bakar.[7][8]

Persiapan pertahanan

Menghadapi kemungkinan penyerbuan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang, dimulai dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Besar Kekaisaran menyimpulkan,

Kami tidak dapat lagi memimpin perang dengan ada sedikit pun harapan untuk menang. Satu-satunya jalan yang tersisa adalah mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepang sebagai bom hidup agar musuh kehilangan semangat bertempur.[9]

Sebagai usaha darurat yang terakhir untuk menghentikan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Kekaisaran Jepang merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go [10] ini dimaksudkan sebagai perubahan strategi yang radikal. Berbeda dari sistem pertahanan berlapis seperti yang dipakai sewaktu menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini semuanya dipertaruhkan di pantai. Sebelum pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka akan diserang oleh 3.000 pesawat kamikaze.[8]

Bila strategi ini tidak mengusir Sekutu, Jepang akan mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yō disertai kapal-kapal perusak dan kapal-kapal selam yang masih tersisa--hingga kapal terakhir yang operasional--untuk menghancurkan Sekutu. Bila Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan berhasil mendarat di Kyushu, hanya akan tersisa 3.000 pesawat untuk mempertahankan pulau-pulau Jepang yang lain. Walaupun demikian, Kyushu akan dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[8] Strategi membuat pertahanan terakhir di Kyushu didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet akan tetap mempertahankan netralitas.[11]

Serangkaian gua digali dekat Nagano di Honshu. Gua-gua yang disebut Markas Besar Kekaisaran Bawah Tanah Matsushiro tersebut akan dijadikan Markas Angkatan Darat pada saat terjadinya invasi Sekutu serta rumah perlindungan bagi Kaisar Jepang dan keluarganya.[12]

Dewan Penasihat Militer

Pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang beranggotakan enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri angkatan darat, menteri angkatan laut, kepala staf umum angkatan darat, dan kepala staf umum angkatan laut.[13] Saat kabinet pemerintah Suzuki terbentu pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri dari:

Kabinet Suzuki, Juni 1945
  • Perdana Menteri Laksamana Kantarō Suzuki
  • Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō
  • Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami
  • Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai
  • Kepala Staf Umum Angkatan Darat Jenderal Yoshijirō Umezu
  • Kepala Staf Umum Angkatan Laut Laksamana Koshirō Oikawa (kemudian diganti oleh Laksamana Soemu Toyoda)

Secara hukum, Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memiliki hak untuk mencalonkan (atau menolak pencalonan) masing-masing menteri. Sebagai hasilnya, Jepang dapat menghindari pembentukan pemerintahan yang tidak diingini, atau terjadinya pengunduran diri yang dapat menjatuhkan pemerintah yang sedang berjalan.[14][15]

Kaisar Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Kaisar Kōichi Kido juga hadir di beberapa pertemuan, setelah diminta Kaisar.[16] Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan, menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang mereka"[17][18]

Perbedaan pendapat di kalangan pemimpin Jepang

Kabinet Suzuki, dalam berbagai segi, lebih memilih meneruskan perang. Bagi Jepang, kapitulasi hampir tidak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.[19] Hanya Menteri Angkatan Laut Mitsumasa Yonai yang diketahui memiliki keinginan untuk mengakhiri perang.[20] Menurut sejarawan Richard B. Frank:

Walaupun Suzuki pastinya melihat perdamaian sebagai tujuan jangka panjang, ia tidak memiliki rencana untuk mewujudkannya dalam jangka waktu dekat atau dengan syarat-syarat yang dapat diterima Sekutu. Komentarnya dalam konferensi negarawan senior tidak memberikan tanda-tanda dirinya menginginkan berakhirnya perang lebih awal ... ; Pilihan Suzuki untuk pos-pos kabinet yang paling penting, dengan pengecualian satu orang, bukanlah juga tokoh pendukung perdamaian.[21]

Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tapi secara terbuka tidak dapat mengumumkannya. Mereka mengutip konsep Jepang tentang haragei (seni berkomunikasi dengan sikap dan kekuatan kepribadian dan bukan melalui kata-kata) untuk membenarkan ketidakselarasan antara tindakan di muka umum dan kegiatan di balik layar. Namun, sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. Robert J. C. Butow menulis:

Berdasarkan alasan yang sangat ambigu, pembelaan soal haragei menimbulkan kecurigaan bahwa dalam masalah politik dan diplomasi, secara sadar menggantungkan diri pada seni menggertak mungkin dapat dianggap sebagai pengelabuan disengaja yang diperkirakan didasarkan keinginan mengadu domba untuk keuntungan sendiri. Walaupun keputusan ini tidak sesuai dengan kepribadian Laksamana Suzuki yang banyak dipuji, pada kenyataannya dari saat ia diangkat sebagai perdana menteri hingga hari ia mengundurkan diri, tidak ada seorang pun yang dapat memastikan apa yang berikutnya akan dikatakan atau dilakukan Suzuki.[22]

Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi. Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat, konsolidasi, konflik yang tidak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan paling tidak beberapa wilayah baru yang telah mereka duduki.[23] Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang sepakat bahwa perang tidak berjalan dengan lancar, tetapi mereka tidak sepakat mengenai cara-cara terbaik dalam bernegosiasi untuk mengakhiri perang. Kalangan pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin agar bertindak sebagai mediator penyelesaian perang antara Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Sebaliknya, faksi garis keras lebih memilih bertempur dalam satu pertempuran terakhir yang "menentukan" hingga jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang mengakibatkan mereka mau menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak.[24] Kedua kubu terbentuk berdasarkan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang empat puluh tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang memakan kerugian besar yang tidak menentukan pemenang, tetapi diakhiri oleh Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.[25]

Laksamana Kantarō Suzuki menjabat Perdana Menteri Jepang dalam bulan-bulan sebelum perang berakhir.

Pada akhir Januari 1945, beberapa pejabat Jepang yang dekat dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang akan melindungi kedudukan Kaisar Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melalui saluran Amerika Serikat dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur menjadi dokumen 40 halaman, dan kemudian, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, diberikan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut laporan, dokumen tersebut ditolak oleh Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin sebagai penguasa boneka. Namun pada saat itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima penyerahan tanpa syarat.[26] Selain itu, proposal-proposal ini ditolak keras oleh pejabat pemerintahan Jepang yang berpengaruh, dan oleh karena itu tidak dapat dikatakan mewakili keinginan Jepang yang sebenarnya untuk menyerah pada waktu itu.[27]

Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberi Kaisar Hirohito sebuah memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa bila perang diteruskan, kekaisaran akan menghadapi revolusi internal yang lebih berbahaya daripada kalah dalam perang.[28] Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar Hisanori Fujita, Kaisar yang menunggu pertempuran menentukan (tennōzan) menjawab bahwa masih terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membuat satu lagi kemenangan militer."[29] Masih pada bulan Februari tahun yang sama, divisi perjanjian Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang mengenai "penyerahan tanpa syarat, pendudukan, perlucutan senjata, penghapuskan militerisme, reformasi demokrasi, hukuman bagi penjahat perang, dan status kaisar."[30] Pelucutan senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman bagi penjahat perang Jepang, dan khususnya pendudukan dan penghapusan jabatan kaisar tidak diterima oleh pimpinan Jepang.[31][32]

Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tidak akan memperbarui Pakta Netralitas Soviet-Jepang[33] yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya Peristiwa Nomonhan.[34] Pada Konferensi Yalta Februari 1945, negara-negara Barat yang tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet untuk mengamankan janji dari Soviet untuk menyatakan perang terhadap Jepang tidak lebih dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta Netralitas tetap berlaku hingga setahun setelah Uni Soviet membatalkannya (hingga 5 April 1946), pembatalan sepihak ini secara jelas tetapi terselubung menunjukkan niat perang Uni Soviet.[35] Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov, di Moskow, dan Yakov Malik, duta besar Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Jepang bahwa "masa berlaku Pakta tersebut belum berakhir".[36]

Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō

Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam anggota Dewan Penasihat Militer dengan serius membahas cara mengakhiri perang. Namun tidak seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat siapa pun yang secara terbuka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya pembunuhan oleh perwira angkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut tertutup bagi siapa pun kecuali keenam anggota Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar. Tidak ada perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan hadir.[37] Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari kemungkinan sekutu negara-negara Barat sudah membuat konsesi dengan Soviet untuk mengajak mereka berperang melawan Jepang.[38] Sebagai hasil rapat-rapat tersebut, Tōgō diberi wewenang untuk mendekati Uni Soviet, meminta mereka untuk tetap mempertahankan netralitas, atau lebih fantastis lagi, mau membentuk aliansi.[39]

Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah rapat bulan Mei selesai, staf Angkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental untuk Diikuti Selanjutnya dalam Melaksanakan Perang" yang menyatakan rakyat Jepang akan berjuang hingga punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni (Tōgō menentangnya, sementara kelima anggota lain mendukung).[40] Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni Soviet, Jepang mengambil pendekatan sebagai berikut:

Rusia harus diberi tahu dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman adalah berkat Jepang, karena kita tetap netral, dan Soviet akan diuntungkan bila membantu Jepang mempertahankan posisinya di dunia internasional, karena musuh mereka di masa depan adalah Amerika Serikat.[41]

Pada 9 Juni, orang kepercayaan kaisar Kōichi Kido menulis "Rancangan Rencana Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada akhir tahun kemampuan Jepang untuk melakukan perang modern akan habis dan pemerintah akan tidak mampu mengendalikan kerusuhan sipil. "... Kita tidak tahu pasti apakah kita akan bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam keadaan yang sulit hingga kita tidak dapat mencapai tujuan tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan mempertahankan tata negara nasional."[42] Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil bagian, dengan menawarkan untuk mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang melepaskan wilayah jajahan Eropa, asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta untuk sementara harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati beberapa anggota Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai keduanya sangat berhati-hati mendukung; masing-masing bertanya dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain. Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami bersikap ambivalen, bersikeras diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar" dalam Operasi Ketsu-Go.[43]

Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan kepercayaan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan angkatan darat di Cina, begitu pula soal angkatan laut dan angkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang. Kaisar menerima laporan dari Pangeran Higashikuni; darinya Kaisar mengambil kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan lepas pantai, divisi yang tersedia untuk diterjunkan di pertempuran yang menentukan juga tidak memiliki jumlah senjata yang memadai."[44] Menurut Kaisar:

Kita sudah diberi tahu besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan untuk membuat sekop. Hal ini berarti kita tidak berada dalam posisi melanjutkan perang.[44]

Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam anggota Dewan Penasihat Militer untuk rapat. Tidak seperti biasanya, Kaisar membuka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana konkrit untuk mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang ada, akan dipelajari dengan cepat dan usaha-usaha dilakukan untuk mengimplementasikannya."[45] Pertemuan menyetujui untuk mengundang bantuan Soviet dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti Swiss, Swedia, dan Vatikan dikenal berniat memainkan peranan dalam menciptakan perdamaian, tapi mereka terlalu kecil hingga mereka tidak dapat melakukan lebih dari sekadar menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari Jepang. Uni Soviet diharapkan dapat dibujuk untuk bertindak sebagai agen Jepang dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.[46]

Usaha berurusan dengan Uni Soviet

Naotake Satō

Pada 30 Juni, Tōgō memerintahkan Duta Besar Jepang untuk Moskwa Naotake Satō untuk berusaha menciptakan "hubungan persahabatan yang erat dan abadi." Satō bermaksud membicarakan status Manchuria dan "masalah apa saja yang akan diangkat Rusia."[47] Satō akhirnya bertemu dengan Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov pada 11 Juli, namun pertemuan tidak menghasilkan apa-apa. Pada 12 Juli, Tōgō memerintahkan Satō untuk menyampaikan kepada Soviet bahwa,

Yang Mulia Kaisar mempertimbangkan fakta bahwa perang yang sekarang dari hari ke hari membawa kemalangan dan pengorbanan bagi rakyat dari semua pihak-pihak yang berperang, keinginan dari dalam hati agar dapat segera dihentikan. Namun selama Inggris dan Amerika Serikat bersikeras soal penyerahan tanpa syarat, Kekaisaran Jepang tidak punya pilihan lain kecuali bertempur dengan segenap tenaga untuk kehormatan dan keberlangsungan tanah air.[48]

Kaisar mengusulkan untuk mengirim Pangeran Konoe sebagai Utusan Luar Biasa, walaupun ia tidak dapat tiba di Moskwa sebelum dimulainya Konferensi Potsdam.

Satō memberi tahu Tōgō bahwa dalam kenyataan, Jepang hanya dapat mengharapkan "penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara ke situ". Lebih jauh lagi Satō mengatakan bahwa pesan-pesan Tōgō "tidak jelas soal pandangan pemerintah dan militer dalam hal penghentian perang," serta mempertanyakan apakah inisiatif Tōgō didukung oleh unsur-unsur kunci dalam struktur kekuasaan Jepang.[49]

Pada 17 Juli, Tōgō menjawab,

Walaupun para penguasa, dan juga pemerintah yakin bahwa kekuatan perang kita masih dapat menimbulkan pukulan berarti terhadap musuh, kami tidak dapat merasakan kedamaian hati yang betul-betul pasti. ... Namun, mohon betul-betul diingat, bahwa kita tidak meminta mediasi Rusia untuk hal-hal seperti penyerahan tanpa syarat.[50]

Dalam jawabannya, Satō memperjelas,

Sudah barang tentu dalam pesan saya sebelumnya menyebut penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara, saya membuat pengecualian soal mempertahankan [Rumah Tangga Kekaisaran].[51]

Pada 21 Juli, berbicara atas nama kabinet, Tōgō mengulangi,

Mengenai soal penyerahan tanpa syarat kami tidak dapat menyetujuinya berdasarkan keadaan bagaimana pun. ... Dalam usaha menghindari keadaan seperti itu kita sedang mencari damai, ... melalui jasa baik Rusia. ... Ditinjau dari sudut pandang dalam negeri dan luar negeri, membuat pernyataan segera tentang syarat-syarat tertentu adalah merugikan dan tidak mungkin.[52]

Ahli kriptografi Amerika Serikat yang bergabung dalam Proyek Magic telah memecahkan sebagian besar sandi Jepang, termasuk kode Purple yang dipakai oleh kantor-kantor perwakilan Jepang untuk menyandikan koresponden diplomatik. Sebagai akibatnya, pesan antara Tokyo dan kedutaan-kedutaan Jepang bocor ke pemimpin Sekutu hampir sama cepatnya dengan penerima di alamat tujuan.[53]

Maksud-maksud Soviet

Urusan keamanan mendominasi keputusan Soviet soal Timur Jauh.[54] Di antara keinginan yang paling utama adalah memperoleh akses tidak terbatas ke Samudra Pasifik. Kawasan lepas pantai Soviet di Pasifik yang bebas es sepanjang tahun, khususnya Vladivostok, dapat diblokade melalui udara dan laut dari Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Bila keduanya didapatkan berarti Rusia memperoleh akses bebas ke Selat Soya yang memang menjadi sasaran utama.[55][56] Sasaran kedua adalah perjanjian kontrak Jalur Kereta Api Timur Jauh Cina, Jalur Kereta Api Manchuria Selatan, Dairen, dan Lushun.[57]

Untuk mencapai tujuannya, Stalin and Molotov dengan semangat bernegosiasi dengan Jepang, memberikan Jepang harapan palsu akan perdamaian dengan Uni Soviet sebagai mediator.[58] Pada saat yang bersamaan, dalam transaksi Soviet dengan Amerika Serikat dan Inggris, Soviet bersikeras untuk secara ketat menaati Deklarasi Kairo, ditegaskan kembali di Konferensi Yalta bahwa Sekutu tidak akan menerima perdamaian bersyarat atau perdamaian sendiri-sendiri dengan Jepang. Kepada semua negara-negara Sekutu, Jepang harus menyerah tanpa syarat. Untuk memperpanjang perang, Uni Soviet menentang semua upaya yang dilakukan untuk memperlunak syarat-syarat kapitulasi.[58] Bila perang tidak segera selesai, Uni Soviet masih punya cukup waktu untuk memindahkan pasukan-pasukan mereka ke medan perang Pasifik, untuk selanjutnya merebut Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan kemungkinan Hokkaido[59] (invasi dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido).[60]

Proyek Manhattan

Pada 1939, Albert Einstein dan Leó Szilárd menulis sepucuk surat kepada Presiden Roosevelt yang mendesaknya untuk mendanai penelitian dan pengembangan bom atom. Roosevelt setuju dan hasilnya adalah proyek riset sangat rahasia yang disebut Proyek Manhattan. Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J. Robert Oppenheimer sebagai direktur pengarah bidang ilmiah. Bom atom pertama dengan sukses diledakkan dalam percobaan Trinity 16 Juli 1945.

Sementara proyek hampir berakhir, pemimpin perang Amerika mulai mempertimbangkan untuk menggunakan bom atom terhadap Jepang. Groves membentuk komite pencari sasaran yang bertemu pada bulan April dan Mei 1945. Komite ini menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka memilih 18 kota-kota di Jepang. Masuk dalam daftar di urutan paling atas adalah Kyoto, Hiroshima,[61] Yokohama, Kokura, dan Niigata.[62][63] Pada akhirnya Kyoto dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L. Stimson yang pernah mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam segi budaya dan sejarah.[64]

Pada bulan Mei, Harry S. Truman diangkat sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru setelah Franklin Roosevelt wafat pada 16 April 1945. Truman menyetujui pembentukan komite Interim, sebuah kelompok penasihat yang melapor mengenai bom atom.[63] Komite Interim terdiri dari George L. Harrison, Vannevar Bush, James Bryant Conant, Karl Taylor Compton, William L. Clayton, dan Ralph Austin Bard, serta dibantu dewan penasihat yang terdiri dari ilmuwan Oppenheimer, Enrico Fermi, Ernest Lawrence, dan Arthur Compton. Dalam laporan tanggal 1 Juni 1945, komite berkesimpulan bom atom harus digunakan secepat mungkin terhadap instalasi-instalasi perang berikut rumah-rumah pekerja di sekelilingnya, dan tidak perlu memberi peringatan atau peragaan sebelumnya.[65]

Mandat yang diberikan kepada komite tidak termasuk penggunaan bom atom, walaupun penggunaannya sudah diperkirakan bila sudah selesai.[66] Komite mengkaji kembali penggunaan bom atom setelah ada protes dalam bentuk Laporan Franck dari ilmuwan Proyek Manhattan. Pada rapat 21 Juni, komite menegaskan kembali bahwa tidak ada alternatif lain selain menggunakan bom atom.[67]

Acara-acara di Potsdam

Pemimpin kekuatan utama Sekutu bertemu dalam Konferensi Potsdam 16 Juli-2 Agustus 1945. Uni Soviet, Kerajaan Bersatu, dan Amerika Serikat, masing-masing diwakili oleh Stalin, Winston Churchill (kemudian Clement Attlee), dan Truman.

Negosiasi

Perang melawan Jepang merupakan salah satu dari berbagai isu yang dibicarakan di Potsdam. Truman mendapat berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan percobaan bom atom menyebabkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan kembali mengenai perlunya partisipasi Soviet (seperti dijanjikan di Yalta).[68] Prioritas teratas Sekutu adalah mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Amerika Serikat. Kedua hal tersebut mungkin dapat dibantu dengan adanya campur tangan Uni Soviet, namun kemungkinan harus dibayar dengan membolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar wilayah yang dijanjikan untuk mereka di Yalta, dan mungkin Jepang akan terbagi dua seperti Jerman.[69]

Dalam kesepakatan dengan Stalin, Truman memutuskan untuk memberikan pemimpin Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan rinciannya. Namun, Sekutu lainnya tidak menyadari bahwa intelijen Soviet telah menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga ketika Stalin mengetahui keberadaan bom atom, ia tidak terkesan dengan potensinya.[70]

Deklarasi Potsdam

Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan untuk mengeluarkan pernyataan yang disebut Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan memperjelas arti kapitulasi Jepang bagi kedudukan kaisar dan bagi Hirohito secara pribadi. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris saling bertentangan mengenai butir terakhir. Amerika Serikat ingin menghapus posisi kaisar dan kemungkinan mengadilinya sebagai penjahat perang. Sebaliknya, Inggris ingin mempertahankan posisi kaisar, mungkin dengan Hirohito yang tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan Deklarasi Potsdam mengalami berbagai revisi sebelum versi yang diterima kedua belah pihak selesai.[71]

Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang berisi syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tidak akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini. Tidak ada alternatif. Kami tidak membolehkan adanya penundaan." Bagi Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:

  • Penghapusan "selama-lamanya dari kekuasaan dan pengaruh tokoh-tokoh yang telah menipu dan menyesatkan rakyat Jepang ke arah dimulainya penaklukan dunia"
  • Pendudukan "titik-titik dalam wilayah Jepang yang akan ditentukan oleh Sekutu"
  • "Kedaulatan Jepang akan dibatasi pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku, serta pulau-pulau kecil seperti yang kami tetapkan." Seperti telah diumumkan dalam Deklarasi Kairo 1943, wilayah-wilayah Jepang akan disita hingga wilayah sebelum perang, termasuk Korea dan Taiwan, begitu pula wilayah-wilayah taklukannya baru-baru ini.
  • "Kekuatan militer Jepang harus sepenuhnya dilucuti"
  • "Keadilan yang keras harus dijatuhkan kepada semua penjahat perang, termasuk semua yang telah melakukan kekejaman terhadap orang kita yang ditawan".
Salah satu sesi Konferensi Potsdam. Tokoh-tokoh dalam foto, Clement Attlee, Ernest Bevin, Vyacheslav Molotov, Joseph Stalin, William D. Leahy, James F. Byrnes, dan Harry S. Truman

Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:

  • "Kami tidak bermaksud memperbudak Jepang sebagai suatu ras atau menghancurkannya sebagai suatu bangsa, ... Pemerintah Jepang harus menghapus semua penghalang bagi kebangkitan dan makin menguatnya kecenderungan demokrasi di antara rakyat Jepang. Kebebasan berbicara, beragama, dan berpikir, begitu pula peghormatan bagi hak asasi manusia yang fundamental harus ditegakkan."
  • "Jepang harus dibolehkan memiliki industri-industri yang akan menunjang ekonomi dan memungkinkan untuk membayar tuntutan pampasan yang serupa dan adil, ... Partisipasi Jepang dalam hubungan dagang internasional harus dibolehkan."
  • "Kesatuan pendudukan Sekutu akan ditarik dari Jepang segera setelah tujuan-tujuan tersebut dicapai dan telah berdirinya sebuah pemerintahan yang bertanggung jawab dan bertujuan damai sesuai dengan keinginan rakyat Jepang yang diungkapkan secara bebas."

Satu-satunya pasal yang menyebut tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan pada akhir deklarasi:

  • "Kami mengimbau pemerintah Jepang untuk menyatakan sekarang juga kapitulasi tanpa syarat dari semua angkatan bersenjata Jepang, dan untuk memperlihatkan jaminan yang cukup dan layak atas maksud baik mereka terhadap hal tersebut. Pilihan lain bagi Jepang adalah "penghancuran sepenuhnya dan segera."

Tidak disebutkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam salah satu dari tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang, bahkan sebaliknya bagian dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan berkeinginan damai". Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" kemungkinan adalah peringatan terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat (yang telah dicobakan dengan sukses pada hari pertama konferensi).[72]

Reaksi Jepang

Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang cara menanggapi Deklarasi Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya, tapi Tōgō membujuk kabinet untuk tidak melakukannya hingga ia mendapat reaksi dari Uni Soviet. Dalam sebuah telegram, Duta Besar Jepang untuk Swiss Shunichi Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlaku untuk militer dan bukan untuk pemerintah atau rakyat, dan ia minta agar dimengerti bahwa pemilihan bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah mengalami pemikiran yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang menandatanganinya--"mereka kelihatannya telah bersusah payah berusaha menyelamatkan muka kita pada berbagai pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak isi Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan sebagai selebaran udara di atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki bertemu dengan pers, dan memberi pernyataan,

Saya menganggap Proklamasi Bersama sebagai pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Mengenai hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya memiliki nilai penting sama sekali. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah mengabaikannya (mokusatsu). Kami tidak akan melakukan apa-apa kecuali menanggungnya hingga akhir untuk mendatangkan akhir perang yang sukses.[74]

Arti kata mokusatsu adalah mengabaikan atau tidak menanggapi.[74] Walaupun demikian, pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit ruang untuk interpretasi yang salah. Pers Jepang dan pers luar negeri mengartikannya sebagai penolakan, dan tidak ada pernyataan lebih lanjut yang disampaikan ke muka umum atau saluran diplomatik untuk mengubah kesalahpahaman ini.

Pada 30 Juli, Duta Besar Satō menulis bahwa Stalin kemungkinan sedang berbicara dengan Sekutu Barat mengenai transaksinya dengan Jepang. Menurut Satō, "Tidak ada alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita ingin mencegah partisipasi Rusia dalam perang."[75] Pada 2 Agustus, Tōgō menulis kepada Satō, "Sulit bagi Anda untuk mewujudkan hal itu ... terbatas waktu kita untuk berlanjut ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit untuk memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah air secara sekaligus."[76]

Hiroshima, Manchuria, dan Nagasaki

Hiroshima: 6 Agustus