Perang Tiongkok-Jepang Kedua

Perang Tiongkok-Jepang Kedua
Bagian dari Perang Dunia II
Peta kekuasaan Jepang tahun 1940
Peta kekuasaan Jepang tahun 1940.
Tanggal7 Juli 19379 September 1945 (perseteruan kecil dimulai sejak 1931)
LokasiTiongkok
HasilTiongkok menang;
Jepang menyerah tanpa syarat.
Casus belliInsiden Jembatan Marco Polo.
Perubahan
wilayah
Pengembalian Manchuria, Taiwan, dan Kepulauan Pescadores kepada Tiongkok
Pihak yang terlibat
Republik Tiongkok Jepang
Komandan
Chiang Kai-shek,
Chen Cheng,
Yan Xishan,
Feng Yuxiang,
Li Zongren,
Xue Yue,
Bai Chongxi,
Peng Dehuai
Hirohito,
Hideki Tojo,
Kotohito Kan'in,
Matsui Iwane,
Hajime Sugiyama,
Shunroku Hata,
Toshizo Nishio,
Yasuji Okamura,
Umezu Yoshijiro,
Fumimaro Konoe
Kekuatan
5.600.000[butuh rujukan]4.100.000 (termasuk 900.000 kaki tangan)[1]
Korban
3.800.000 militer,
17.530.000 penduduk sipil
1.900.000 militer

Perang Tiongkok-Jepang Kedua (7 Juli 1937 sampai 9 September 1945) adalah perang besar antara Tiongkok dan Jepang, sebelum dan selama Perang Dunia II. Perang ini adalah perang Asia terbesar pada abad ke-20. [2]

Walaupun kedua negara telah sebentar-sebentar berperang sejak tahun 1931, perang berskala besar baru dimulai sejak tahun 1937 dan berakhir dengan menyerahnya Jepang pada tahun 1945. Perang ini merupakan akibat dari kebijakan imperialis Jepang yang sudah berlangsung selama beberapa dekade. Jepang bermaksud mendominasi Tiongkok secara politis dan militer untuk menjaga cadangan bahan baku dan sumber daya alam yang sangat banyak dimiliki Tiongkok. Pada saat yang bersamaan, kebangkitan nasionalisme Tiongkok dan kebulatan tekad membuat perlawanan tidak bisa dihindari. Sebelum tahun 1937, kedua pihak sudah bertempur dalam insiden-insiden kecil dan lokal untuk menghindari perang secara terbuka. Invasi Manchuria oleh Jepang pada tahun 1931 dikenal dengan nama Insiden Mukden. Bagian akhir dari penyerangan ini adalah Insiden Jembatan Marco Polo tahun 1937 yang menandai awal perang besar-besaran antara kedua negara.

Sejak tahun 1937 sampai 1941, Tiongkok berperang sendiri melawan Jepang. Setelah peristiwa penyerangan terhadap Pearl Harbor terjadi, Perang Tiongkok-Jepang Kedua pun bergabung dengan konflik yang lebih besar, Perang Dunia II.

Tatanama

Dalam bahasa Tionghoa, perang ini dikenal sebagai Perang Perlawanan terhadap Jepang (抗日戰爭), dan juga dikenal sebagai Perang Perlawanan Delapan Tahun (八年抗戰), atau lebih singkat Perang Perlawanan (抗戰).

Di Jepang, Perang Jepang-Tiongkok (日中戦争, Nicchū Sensō?) lebih banyak digunakan karena netralitasnya.

Kata insiden (事変, jihen) digunakan oleh Jepang karena tidak ada negara yang mendeklarasikan perang satu sama lain. Jepang berusaha menghindari campur tangan dari negara lain seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang merupakan pengekspor utama besi untuk Jepang. Presiden Amerika Serikat, Roosevelt akan menjatuhkan embargo berdasarkan serangkaian undang-undang yang disebut Akta Netralitas jika pertempuran tersebut disebut perang.

Dalam propaganda Jepang, penyerbuan terhadap Tiongkok merupakan perang suci (seisen), langkah pertama dari slogan Hakko ichiu (delapan sudut dunia di bawah satu atap). Pada tahun 1940, perdana menteri Konoe membentuk Liga Anggota Parlemen yang Percaya Tujuan Perang Suci. Ketika kedua belah pihak secara resmi mendeklarasikan perang pada Desember 1941, namanya diubah menjadi Perang Asia Timur Raya (大東亜戦争, Daitōa Sensō).

Pada waktu itu, pemerintah Jepang masih menggunakan istilah "Insiden Shina" dalam dokumen resmi. Berdasarkan alasan penggunaan kata "Shina" dianggap menghina oleh Tiongkok, media Jepang sering menggantinya dengan istilah-istilah lain yang juga pernah digunakan media tahun 1930-an, seperti: Insiden Jepang-China (日華事変 [Nikka Jihen], 日支事変 [Nisshi Jihen].

Latar belakang

Chiang Kai-shek mengumumkan kebijakan KMT dalam perlawanan terhadap Jepang di Lushan pada 10 Juli 1937, tiga hari setelah pertempuran Jembatan Lugou.

Pada tahun 1915, Jepang mengeluarkan Dua Puluh Satu Tuntutan terhadap Tiongkok untuk menambah kepentingan dalam bidang politik dan perdagangan dengan Tiongkok. Setelah Perang Dunia I, Jepang merebut kekuasaan daerah Shandong dari Jerman. Tiongkok di bawah pemerintahan Beiyang tetap terpecah-belah dan tidak mampu untuk melawan serbuan asing sampai Ekspedisi Utara tahun 1926-1928, yang dilancarkan oleh Kuomintang (KMT, atau Partai Nasionalis Tiongkok), pemerintahan saingan yang berpusat di Guangzhou. Ekspedisi Utara meluas ke seluruh Tiongkok hingga akhirnya terhenti di Shandong. Pemimpin militer Beiyang, Zhang Zongchang yang didukung Jepang berusaha menghentikan gerak maju Pasukan Kuomintang dalam menyatukan Tiongkok. Situasi ini mencapai puncaknya ketika pasukan Kuomintang dan Jepang terlibat dalam pertempuran yang disebut Insiden Jinan tahun 1928. Pada tahun yang sama, pemimpin militer Manchuria, Zhang Zuolin juga dibunuh karena ia tidak lagi mau bekerjasama dengan Jepang. Setelah insiden-insiden ini, pemerintah Kuomintang di bawah pimpinan Chiang Kai-shek akhirnya berhasil menyatukan Tiongkok pada tahun 1928.

Tentara Jepang memasuki Shenyang selama Insiden Mukden.

Walaupun demikian, sejumlah pertempuran antara Tiongkok dan Jepang terus berlanjut karena meningkatnya nasionalisme Tiongkok, dan untuk memenuhi salah satu tujuan dari Tiga Prinsip Rakyat, yaitu untuk mengeluarkan Tiongkok dari imperialisme asing. Bagaimanapun, Ekspedisi Utara hanya mampu menyatukan Tiongkok secara nama saja, dan perang saudara pecah di antara para mantan pemimpin militer dan faksi saingan, Kuomintang. Sebagai tambahan lagi, para komunis Tiongkok memberontak terhadap pemerintah pusat setelah melakukan pembersihan terhadap anggotanya. Karena situasi-situasi demikian, pemerintahan pusat Tiongkok mengalihkan banyak perhatian pada perang-perang saudara dan mengikuti kebijakan "pendamaian internal didahulukan sebelum melawan pihak asing". Situasi ini memberikan kesempatan yang mudah bagi Jepang untuk melanjutkan agresinya. Pada tahun 1931, Jepang menginvasi Manchuria segera setelah Insiden Mukden. Setelah bertempur selama lima bulan, pada tahun 1932, negara boneka Manchukuo dibentuk dengan kaisar terakhir Tiongkok, Puyi, diangkat sebagai kepala negara. Tidak bisa menantang Jepang secara langsung, Tiongkok meminta bantuan kepada Liga Bangsa. Investigasi liga ini menerbitkan Laporan Lytton, yang mengutuk Jepang karena telah menyerang Manchuria, dan mengakibatkan Jepang mengundurkan diri dari Liga Bangsa. Sejak akhir tahun 1920-an dan selama tahun 1930-an, ketenangan adalah dasar dari komunitas internasional dan tidak ada satu negara pun yang ingin menunjukkan pendirian secara aktif, melainkan hanya mengeluarkan kecaman-kecaman kecil. Jepang menganggap Manchuria sebagai sebuah sumber bahan baku yang tidak terbatas dan juga sebagai sebuah negara penyangga terhadap ancaman Uni Soviet.

Konflik yang terjadi menyusul Insiden Mukden tidak terhenti. Pada tahun 1932, tentara Tiongkok dan Jepang bertempur dalam sebuah pertempuran singkat pada Insiden 28 Januari di Shanghai. Pertempuran ini menghasilkan demiliterisasi Shanghai, yang melarang Tiongkok untuk menempatkan tentara di kota mereka sendiri. Di Manchukuo, terdapat sebuah kampanye yang sedang berlangsung untuk mengalahkan tentara sukarelawan yang bangkit karena kekecewaan terhadap kebijakan yang tidak menentang Jepang. Pada tahun 1933, Jepang menyerang wilayah Tembok Besar, dan setelah itu, Gencatan Senjata Tanggu ditandatangani, yang memberi Jepang kendali atas provinsi Rehe dan sebuah zona demiliterisasi antara Tembok Besar dan wilayah Beiping-Tianjin. Jepang bertujuan untuk membuat wilayah penyangga yang lain, kali ini antara Manchukuo dan pemerintah Nasionalis Tiongkok yang saat itu beribukota di Nanjing.

Selain itu, Jepang semakin memperalat konflik internal antara faksi-faksi Tiongkok untuk mengurangi kekuatan mereka satu demi satu. Hal ini disebabkan karena fakta bahwa beberapa tahun setelah Ekspedisi Utara, kekuatan politik pemerintah Nasionalis hanya meluas di sekitar Delta Sungai Panjang (Yangtze), dan wilayah lain Tiongkok yang memang berada dalam kekuatan regional. Jepang sering membeli atau membuat hubungan khusus dengan kekuatan-kekuatan regional ini untuk merusak usaha pemerintah Nasionalis pusat untuk menyatukan Tiongkok. Untuk itu, Jepang mencari berbagai pengkhianat Tiongkok untuk bekerjasama dan membantu mereka memimpin beberapa pemerintahan otonomi yang bersahabat dengan Jepang. Kebijakan ini disebut Pengkhususan Tiongkok Utara (Tionghoa: 華北特殊化; pinyin: húaběitèshūhùa), atau yang lebih sering diketahui sebagai Gerakan Otonomi Tiongkok Utara. Provinsi bagian utara yang terlibat dalam kebijakan ini adalah Chahar, Suiyuan, Hebei, Shanxi, dan Shandong.

Pada tahun 1935, di bawah tekanan Jepang, Tiongkok menandatangani Perjanjian He-Umezu, yang melarang KMT untuk menjalankan kegiatan partainya di Hebei dan secara langsung mengakhiri kekuasaan Tiongkok atas Tiongkok Utara. Pada tahun yang sama, Perjanjian Chin-Doihara ditandatangani dan mengakibatkan KMT disingkirkan dari Chahar. Dengan demikian, pada akhir 1935, pemerintahan pusat Tiongkok telah disingkirkan dari Tiongkok Utara. Sebagai gantinya, Majelis Otonomi Hebei Timur dan Majelis Politik Hebei-Chahar dibentuk oleh Jepang.

Tokoh besar

Tiongkok: Nasionalis

  • Chiang Kai-Shek (蔣介石, 蒋介石)
  • Bai Chongxi (白崇禧)
  • Chen Cheng (陳誠, 陈诚)
  • Du Yuming (杜聿明)
  • Fang Xianjue (方先覺, 方先觉)
  • Feng Yuxiang (馮玉祥, 冯玉祥)
  • Gu Zhutong (顧祝同, 顾祝同)
  • He Yingqin (何應欽, 何应钦)
  • H. H. Kung (孔祥熙)
  • Hu Kexian (胡克先)
  • Hu Zongnan (胡宗南)
  • Li Zongren (李宗仁)
  • Long Yun (龍雲, 龙云)
  • Ma Zhanshan (馬占山)
  • Song Zheyuan (宋哲元)
  • Soong May-ling (宋美齡, 宋美龄)
  • T. V. Soong (宋子文)
  • Sun Lianzhong (孫連仲, 孙连仲)
  • Sun Liren (孫立人, 孙立人)
  • Tang Enbai (湯恩伯, 汤恩伯)
  • Tang Shengzhi (唐生智)
  • Wang Jingwei (汪精衛, 汪精卫)
  • Wei Lihuang (衛立煌, 卫立煌)
  • Xue Yue (薛岳)
  • Yan Xishan (閻錫山, 阎锡山)
  • Xie Jinyuan (謝晉元, 谢晋元)
  • Ye Ting (叶挺)
  • Zhang Fakui (張發奎)
  • Zhang Zhizhong (張治中, 张治中)
  • Zhang Zizhong (張自忠, 张自忠)
  • Zhu Shaoliang (朱紹良)

Tiongkok: Komunis

  • Chen Yi (陳毅, 陈毅)
  • Deng Xiaoping (鄧小平, 邓小平)
  • He Long (賀龍, 贺龙)
  • Lin Biao (林彪)
  • Liu Bocheng (劉伯承, 刘伯承)
  • Liu Shaoqi (劉少奇, 刘少奇)
  • Luo Ronghuan (羅榮桓, 罗荣桓)
  • Mao Zedong (毛澤東, 毛泽东)
  • Nie Rongzhen (聶榮臻, 聂荣臻)
  • Peng Dehuai (彭德懷, 彭德怀)
  • Su Yu (粟裕)
  • Xu Xiangqian (徐向前)
  • Ye Jianying (葉劍英, 叶剑英)
  • Zhang Aiping (张爱萍)
  • Zhou Enlai (周恩來, 周恩来)
  • Zhu De (朱德)

Jepang: Tentara Kekaisaran Jepang

  • Kaisar Shōwa (昭和天皇) Hirohito (裕仁)
  • Abe Nobuyuki (阿部 信行)
  • Anami Korechika (阿南 惟幾)
  • Pangeran Asaka Yasuhiko (朝香宮)
  • Pangeran Chichibu Yasuhito (秩父宮)
  • Doihara Kenji (土肥原 賢二)
  • Pangeran Fushimi Hiroyasu (伏見宮博恭王)
  • Hashimoto Kingoro (橋本 欣五郎)
  • Hata Shunroku (畑 俊六)
  • Pangeran Higashikuni Naruhiko (東久邇宮 稔彦王)
  • Honma Masaharu (本間 雅晴)
  • Ishii Shiro (石井 四郎)
  • Isogai Rensuke (磯谷 廉介)
  • Itagaki Seishiro (板垣 征四郎)
  • Pangeran Kan'in Kotohito (閑院宮 載仁親王)
  • Konoe Fumimaro (Kyūjitai: 近衞 文麿, Shinjitai: 近衛 文麿)
  • Kanji Ishiwara (石原 莞爾)
  • Koiso Kuniaki (小磯 國昭,小磯 国昭)
  • Matsui Iwane (松井 石根)
  • Mutaguchi Renya (牟田口 廉也
  • Nakajima Kesago (中島 今朝吾)
  • Nishio Toshizo (西尾 壽造, 西尾 寿造)
  • Okamura Yasuji (岡村 寧次)
  • Sakai Takashi (酒井 隆)
  • Sugiyama Hajime (杉山 元)
  • Pangeran Takeda Tsuneyoshi (竹田宮 恒徳王)
  • Terauchi Hisaichi (寺内 壽一, 寺内 寿一)
  • Tojo Hideki (Kyūjitai: 東條 英機, Shinjitai: 東条 英機)
  • Umezu Yoshijiro (梅津 美治郎)
  • Yamaguchi Tamon (山口 多聞)
  • Yamashita Tomoyuki (山下 奉文)

Pemerintahan boneka

Manchukuo

  • Puyi

Mengjiang

  • Demchugdongrub

Dewan Otonomi Hebei Timur

  • Yin Ju-keng

Pemerintah Provisional Republik Tiongkok

  • Wang Kemin 王克敏

Pemerintah Nasionalis Nanjing

  • Chen Gongbo 陈公博
  • Wang Jingwei 汪精卫
  • Zhou Fohai 周佛海

Personel asing kubu Tiongkok

  • Alexander von Falkenhausen
  • Joseph Stilwell
  • Albert Coady Wedemeyer
  • Claire Chennault
  • Agnes Smedley
  • Edgar Snow
  • Norman Bethune
  • John Rabe
  • Jakob Rosenfeld
  • Morris Abraham "Two-Gun" Cohen
  • James Gareth Endicott
  • Dwarkanath Kotnis

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Jowett, Phillip, Rays of the Rising Sun, pg.72.
  2. ^ Bix, Herbert P. The Showa Emperor's "Monologue" and the Problem of War Responsibility,Journal of Japanese Studies, Vol. 18, No. 2. (Summer, 1992), pp. 295-363.

Referensi

Pranala luar

Topographic Maps of Manchuria during the Second World War.

  • Joint Study of the Sino-Japanese War, Harvard University. Multi-year project seeks to expand research by promoting cooperation among scholars and institutions in China, Japan, the United States, and other nations. Includes extensive bibliographies [1]



Sumber :
ilmu-pendidikan.com, wiki.kurikulum.org, id.wikipedia.org, dsb.