Ratu Hemas

G.K. Ratu Hemas
Gusti Kanjeng Ratu Hemas
Permaisuri Yogyakarta
Petahana
Mulai menjabat
1989
Penguasa monarkiHamengkubuwana X
PresidenSoeharto
B.J. Habibie
Abdurrahman Wahid
Megawati Soekarnoputri
Susilo Bambang Yudhoyono
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah
Petahana
Mulai menjabat
2009
PresidenSusilo Bambang Yudhoyono
Informasi pribadi
Lahir31 Oktober 1952
KebangsaanIndonesia
Suami/istriHamengkubuwana X
AgamaIslam

Gusti Kanjeng Ratu Hemas (lahir di Jakarta, 31 Oktober 1952 nama lahir Tatiek Dradjad Supriastuti [1]) adalah permaisuri dari Sri Sultan Hamengkubuwana X, yaitu raja Kasultanan Yogyakarta sejak tahun 1989 dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 1998.[1] Sejak tahun 2004, Ratu Hemas menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia asal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta[2] dan sejak tahun 2009 menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah.[3]

Awal kehidupan

Penobatan Sultan Hamengkubuwana X

Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dilahirkan dengan nama Tatiek Dradjad Supriastuti adalah anak ketiga (perempuan tunggal) dari tujuh bersaudara.[1] Ia tinggal dan dibesarkan di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ayah, Soepono Digdosastropranoto, seorang ABRI yang berasal dari Yogyakarta, dan ibu, Susamtilah Soepono, seorang ibu rumah tangga, yang berasal dari Wates, Kulonprogo. [1] Hingga SMA Tatiek di Jakarta, dan sempat kuliah di Fakultas Arsitektur, Trisakti, Jakarta namun tidak diselesaikan karena menikah pada tahun 1968. [1] [4] Tatiek kemudian pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1972 mengikuti suaminya.[1]

Pertemuan dengan Sri Sultan Hamengkubuono X

Sejak kecil setiap tahun keluarganya di Jakarta berlibur ke rumah kakeknya, bekas abdi dalem Kraton di Yogyakarta, di Soronatan.[1] Pada tahun 1970-an di Yogyakarta, Tatiek (GKR Hemas) bertemu Herjuno Darpito, putera tertua Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang saat itu berkuasa, yang kemudian dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono X di gang.[1] Pada umur 19 tahun Tatiek menikah dengan Herjuno Darpito (6 tahun lebih tua) dan meninggalkan kuliahnya. [1] Namanya diganti untuk pertama kalinya menjadi Mangkubumi, dan berganti tiga kali hingga yang terakhir Gusti Kanjeng Ratu Hemas saat Herjuno Darpito naik takhta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono X.[1] Pernikahannya dikaruniai lima puteri; GKR Pembayun, GKR Candrakirana, GKR Maduretno, GKR Hayu, dan GKR Bendara.[4]

Kegiatan sosial, kiprah dan karir politik

  • Pada awal kegiatannya di Kraton Yogyakarta aktivitas sosial GKR Hemas berkisar di Yayasan Sayap Ibu dan pemberantasan buta aksara di Yogyakarta sebagai pengajar.[1] Sebelumnya, GKR Hemas juga pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat masa jabatan 1997-1999 dari Fraksi Utusan Golongan, dan pernah pula menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Kartini. [4]
  • Pada tahun 2004 GKR Hemas mengajukan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa partai politik dan terpilih. Ia juga aktif pada organisasi GPSP (Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan) karena ingin memahami kegiatan perempuan, hak hak perempuan dan alasan terjun dalam dunia politik[1]
  • Pada November 2008 wawancara dengan Arfi Bambani Amri, Nenden Novianti, A Rizalludin dan Tri Saputro dari VIVAnews Senin GKR Hemas mengungkapkan pandangan politiknya menentang Undang Undang Pornografi karena dinilai menyudutkan perempuan.[1] Ratu Hemas bahkan ikut turun ke jalan, berdemonstrasi bersama ribuan rakyat Bali menentang, karena walaupun setuju untuk perlindungan anak dan bahaya internet, ia tidak setuju penggunaan undang-undang untuk hal tersebut.[1]
  • Pada tahun 2009 GKR Hemas terpilih kembali menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI independen (tanpa partai politik) untuk masa jabatan 2009-2014 dengan perolehan 941.153 suara, yang di klaim sebagai delapan puluh persen dari masyarakat Yogya. [2] [5]
  • Pada November 2012 GKR Hemas bersama dengan Laode Ida, I Wayan Sudirta, dan John Pieris mewakili Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menggugat uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan pasal 22 D UUD 45 mengenai hak hak yang sama antara lembaga DPD dan DPR, dan melemahkan hubungan antara pusat dan daerah. [3] Selama ini pada proses pembuatan hukum DPD mendapat kekuasaan untuk memberi masukan, namun tidak mendapat peran untuk meloloskan hukum tersebut. [6] DPD ingin badan legislasi giat mendukung keinginan rakyat di daerah, dan mendapat peran untuk kuasa ini.[6] Wayan menambahkan bahwa berdasar konstitusi DPD juga berhak mengajukan RUU dan telah mengajukan 35 usulan RUU dari DPD RI, namun tidak pernah dibahas DPR.[3] Pendapat sebaiknya DPD RI diperkuat atau dibubarkan saja.[3] Lima gugatan uji materiil diantaranya adalah 1) kesetaraan peran DPD dalam meloloskan Undang Undang; 2) usulan RUU dari DPD diperlakukan setara dengan usulan pemerintah; 3) Pelibatan DPD dalam semua tingkatan pembahasan; 4) pembahasan RUU hanya oleh tiga lembaga; 5) DPD ikut memberikan persetujuan pembuatan UU.

Rujukan



Sumber :
wiki.pahlawan.web.id, id.wikipedia.org, perpustakaan.web.id, dsb.