Penerimaan Mahasiswa Baru Kelas Malam, Kelas Online, Kelas Karyawan

Cari di Kumpulan Kepustakaan Berbahasa Indonesia   
Indeks Artikel: A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 +.- Daftar isi | Manual book
Artikel sebelumnya  (Hasanuddin (Sultan Hasanuddin))(SumbawaArtikel berikutnya

Sultan Mahmud Badaruddin II

Gambaran Wajah Sultan Mahmud Badaruddin II di uang Rupiah pecahan
Rp 10.000
Patung Sultan Mahmud Badaruddin II
di Museum Keprajuritan TMII
(Taman Mini Indonesia Indah)

Sultan Mahmud Badaruddin II (lahir di Palembang, 1767, meninggal di Ternate, 26 September 1852)[1] adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode (1803-1813, 1818-1821), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Nama aslinya sebelum menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.

Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan Belanda, di antaranya yang disebut Perang Menteng. Pada tangga 14 Juli 1821, ketika Belanda berhasil menguasai Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarga ditangkap dan diasingkan ke Ternate.

Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sejak tanggal 20 Oktober 2005. Penggunaan gambar Sultan Mahmud Badaruddin II di uang kertas ini sempat dianggap kasus pelanggaran hak cipta, karena tanpa izin pelukisnya. Namun kemudian terungkap bahwa hal itu tidak benar, karena terbukti bahwa gambar Sultan Mahmud Badaruddin II tersebut telah menjadi hak milik panitia penyelenggara lomba lukis wajah Sultan Mahmud Badaruddin II (hak milik pemerintah/masyarakat).

Daftar Isi

  1. Masa Kecil dan Masa Damai
  2. Peristiwa Loji Sungai Aur (14 September 1811)
  3. Penyerbuan Inggris ke Palembang (tahun 1812)
  4. Perang Palembang I (11 – 15 Juni 1819)
  5. Perang Palembang II (18 September - 30 Oktober 1819)
  6. Perang Palembang III (22 Mei - 24 Juni 1821)
  7. Gugurnya Sultan Mahmud Badaruddin II
  8. Museum Sultan Mahmud Badaruddin II

Masa Kecil dan Masa Damai

Raden Muhammad Hasan lahir pada tanggal 1 Rajab 1181 Hijriah (23 November 1767 Masehi) di Istana Kasultanan Palembang-Darussalam. Ayahnya adalah raja di Kasultanan Palembang-Darussalam bernama Sultan Muhammad Bahauddin (juga dikenal dengan nama Sultan Mahmud Badaruddin I). Sedangkan ibu Raden Muhammad Hasan bernama Ratu Agung bin Datuk Murni bin Abdullah al-Haddadi.

Raden Muhammad Hasan adalah Putra Mahkota Kasultanan Palembang-Darussalam yang kelak menjadi Sultan Mahmud Badaruddin II.

Sebagaimana putra mahkota, ia dididik dan ditempa untuk menjadi pewaris tahta Kesultanan Palembang. Pendidikan agamanya didapat dari beberapa ulama besar waktu itu yaitu Syekh Abdus Somad al-Palembani, Syekh Muhammad Muhyiddin bin Syihabuddin, Syekh Ahmad bin Abdullah, Syekh Kms. Muhammad bin Ahmad, dan Sayid Abdurrahman al-Idrus.

Muhammad Hasan memiliki ketekunan dan kemauan yang besar untuk belajar. Ia tekun mempelajari ilmu pengetahuan dan bahasa, sehingga di samping menguasai bahasa ibu, ia dapat berbahasa Arab, Portugis, dan Belanda, serta hafal isi kitab suci Al-Quran.

Setelah Sultan Muhammad Bahauddin meninggal dunia, Raden Muhammad Hasan dinobatkan menjadi sultan pada tanggal 21 Dzul Hijjah 1217 H (Kamis Legi, 14 April 1803) dengan gelar Sri Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Imam, lebih dikenal dengan nama Sultan Mahmud Badaruddin II atau disingkat SMB 2 (SMB II). Sebenarnya penggunaan angka romawi "II" diprotes oleh keturunan Sultan Palembang sekarang, karena di Kasultanan Palembang sebenarnya tidak mengenal angka romawi, juga tidak ada yang bergelar sama, sehingga tidak ada "gelar sultan" I atau "gelar sultan" II.

SMB II selain sebagai sultan, ia juga seorang ulama saleh, imam besar Masjid Agung, penulis, seorang olahragawan terutama pencak silat dan bidar. Ia gemar membaca dan menulis, mempelajari ilmu pengetahuan, juga mempelajari kemasyuran bangsanya sendiri dan bangsa-bangsa lain seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Perancis, Belanda, Aceh, Jawa dan Maluku. Oleh karena itu ia memiliki wawasan yang luas.

Kitab-kitab karangannya antara lain: Syair Nuri, Pantun Sipelipur Hati, Sejarah Raja martalaya, Nasib Seorang Kesatria Signor Kastro, dsb.

Kesultanan Palembang mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II. Di dalam melawan penjajahan Belanda dan Inggris, Sultan Mahmud Baruddin II berhasil mengatasi politik diplomasi dan peperangan kedua bangsa tersebut. Sebelum jatuhnya Palembang dalam peperangan besar di tahun 1821, Sultan Mahmud Badaruddin II secara beruntun pada tahun 1819 telah dua kali berhasil mengalahkan pasukan Belanda sehingga keluar dari perairan Palembang.

Peristiwa Loji Sungai Aur (14 September 1811)

Keraton Palembang (tahun 1811)
Keraton Palembang (tahun 1811)

Hubungan perdagangan antara VOC (Belanda) dengan Palembang sudah terjalin sejak permulaan abad ke-17, terutama menyangkut komoditi lada dan timah. Pada permulaan abad ke-19 terjadi perebutan kekuasaan di Nusantara antara Inggris dan Belanda. Peristiwa ini terkait dengan perang yang terjadi di Eropa antara Inggris dan Perancis semasa kekuasaan Napoleon Bonaparte.

Negeri Belanda menjadi bagian dari Perancis yaitu Bataafse Republik, oleh karena itu milik Belanda yang ada di Nusantara pun direbut oleh Inggris. Terjadi penyerbuan tentara Inggris yang berpangkalan di Malaka dan Penang ke Batavia/Jawa pada bulan Agustus 1811, kemudian penyerahan kekuasaan Belanda kepada Inggris tanggal 18 September 1811 di desa Tuntang, Jawa Tengah.

Mengetahui hilangnya kekuasaan Belanda setelah penyerbuan ke Batavia bulan Agustus 1811 tersebut, pada tanggal 14 September 1811 Sultan Mahmud Badaruddin II meminta Residen Belanda beserta pasukannya meninggalkan loji. Residen Belanda menolaknya, dan bersama 86 orang lainnya mengadakan perlawanan, sehingga terbunuh. Setelah pengusiran Belanda dari loji sungai Aur, maka loji tersebut dihancurkan.
Negara Belanda marah dan menuding Thomas Stamford Raffles (Penguasa Inggris di Indonesia) berada di balik peristiwa itu dengan menghasut sultan. Namun Raffles menyangkal dan menuduh Sultan Mahmud Badaruddin II yang bertanggung jawab mengenai hal ini.

Penyerbuan Inggris ke Palembang (tahun 1812)

Hubungan Sultan Mahmud Badaruddin II dengan Thomas Stamford Raffles cukup baik sebelum takluknya Belanda dari Inggris. Tindakan Sultan yang menolak pembicaraan menyangkut timah Bangka dan peristiwa Loji Sungai Aur, merupakan alasan Raffles (penguasa Inggris di Indonesia) untuk mengirim pasukan militer (armada Inggris) di bawah Mayor Jendral Gillespie dari Batavia tanggal 20 Maret 1812 ke Palembang.

Sultan dengan pasukannya telah bersiap-siap menyambut armada tersebut dengan memperkuat kubu-kubu pertahanannya di sepanjang Sungai Musi, dengan kubu-kubu meriam terapung, perahu-perahu bersenjata, rakit-rakit berisi bahan yang mudah terbakar untuk menghambat kedatangan armada Inggris. Sedangkan di pusat pertahanannya di keraton (sekarang Benteng) telah disiapkan meriam-meriam untuk menghadapi serangan tersebut.

Tetapi karena lebih unggulnya persenjataan armada Inggris serta berpihaknya Pangeran Adipati Najamuddin (Husin Dhiauddin, adik sultan) ke Inggris, maka pasukan sultan kalah dan Palembang dikuasai Inggris tanggal 24 April 1812. Sultan Mahmud Badaruddin II menyingkir ke pedalaman dengan membawa segala perlengkapan dan harta kerajaan.
Gillespie menduduki istana pada 25 April 1812 dan bendera Inggris dikibarkan di istana Kasultanan Palembang. Adik Sultan (Najamuddin II) dinobatkan oleh Inggris sebagai raja/sultan dan harus menandatangani perjanjian pada 12 Mei 1812 yang isinya antara lain penyerahan Bangka dan Belitung kepada Inggris. Kapten Meares yang diangkat sebagai Residen Inggris ditugaskan mengejar Sultan Mahmud Badaruddin II.
Dalam pengejaran tersebut terjadi pertempuran di Bailangu dengan kekalahan pihak Inggris, Meares tertembak dan akhirnya meninggal. Untuk mempertahankan posisinya Sultan Mahmud Badaruddin II mendirikan kubu-kubu pertahanan di Muara Rawas dan daerah-daerah pedalaman dengan demikian Sultan tidak dapat ditaklukkan.

Pengganti Kapten Meares adalah Mayor Robison yang bertugas di Palembang mulai 13 Februari 1813.
Di Palembang, Mayor Robison melihat ketidakmampuan Najamuddin II sebagai raja dan ketidak kepastian kerjasama dengannya, serta melihat rakyat Palembang masih menghendaki kembalinya SMB II (yang dapat berakibat munculnya pemberontakan dari rakyat Palembang).

Melihat kondisi ini, Mayor Robison mau berdamai dengan SMB II. Setelah melalui serangkaian perundingan, tanggal 13 Juli 1813 SMB II kembali ke Palembang dan duduklah ia sebagai Sultan yang berdaulat.

Thomas Stamford Raffles tidak menyetujui tindakan Robison ini.
Tanggal 7 Agustus 1813, Raffles mengirimkan sebuah komisi disertai pengganti Robison yaitu M.H. Court, serta 400 pasukan Inggris ke Palembang. Komisi tersebut dipimpin Kapten George Elliot, bersama Mayor W. Colebrooke dan Letkol Mc. Gregor.
Robison dipecat dan ditahan (di kemudian hari setelah ia bebas, ia mengadukan kepada penguasa Inggris di India dan di Inggris mengenai tindakan-tindakan Raffles yang tercela). Dan komisi tersebut melengserkan kembali SMB II sebagai Sultan Palembang.

Perdamaian antara Inggris dan Perancis di Eropa setelah jatuhnya Napoleon mempengaruhi politik di Nusantara. Konvensi London 13 Agustus 1814 menetapkan bahwa Inggris harus menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloni yang didudukinya sejak 1803.
Kebijakan ini tidak dipatuhi Raffles, sehingga pemerintah Inggris mengganti Raffles dengan John Fendall, dan menurunkan posisi Raffles menjadi Residen Inggris di Bengkulu.
Setelah Raffles digantikan oleh John Fendall, barulah koloni Belanda yang direbut Inggris di Nusantara diserahkan ke Belanda pada 29 Juni 1817. Belanda kemudian mengangkat Mutinghe sebagai Komisaris (Residen) di Palembang.

Perang Palembang I (11 - 15 Juni 1819)

Peta Palembang dengan sungai-sungainya. Peta dibuat tahun 1819
Peta Palembang dengan sungai-sungainya. Peta dibuat tahun 1819

Belanda mengambil alih kembali wilayah koloninya dari tangan Inggris pada 29 Juni 1817, dan mengangkat Mutinghe sebagai Komisaris (Residen) di Palembang.
Mutinghe segera ke Palembang sebagai Komisaris (Residen) dan langkah pertama yang dilakukannya adalah mendudukkan kembali SMB II sebagai raja yang sah di Kasultanan Palembang, sekaligus melengserkan Najamuddin II (Husin Dhiauddin).

Husin Dhiauddin marah dengan perlakuan ini dan meminta bantuan Raffles di Bengkulu. Raffles mengirimkan 300 tentaranya ke Palembang melalui jalan darat untuk membantu Husin Dhiauddin.

Terjadi insiden di Palembang, tentara kiriman Raffles yang di Palembang berhasil diusir oleh tentara Belanda, dan dikembalikan lewat laut ke Bengkulu. Selanjutnya Mutinghe memburu sisa tentara Inggris di Muara Beliti dan terjadi pertempuran di sana yang berakhir dengan perdamaian. Dengan adanya insiden ini, Dhiauddin beserta keluarganya diasingkan ke Betawi dan Cianjur.

Ketika Mutinghe kembali ke kota, ia diserang oleh pasukan rakyat Palembang di pedalaman, sehingga ia cepat-cepat mundur ke Palembang. Mutinghe menuduh Badaruddin II bertanggung jawab atas serangan tersebut. Dan Mutinghe meminta tambahan pasukan dari Batavia (sekarang Jakarta).

Setelah pasukan tambahan dari Batavia berhasil didatangkan, Mutinghe mengultimatum SMB II untuk menyerahkan putra sulungnya sebagai jaminan kepatuhannya. Hal ini menyebabkan kemarahan Sultan Mahmud Badaruddin II.

Terjadi pertempuran tanggal 11 – 15 Juni 1819 (istilah Palembang "Perang Menteng" (dari kata Muntinghe)) antara pasukan Sultan Mahmud Badaruddin II yang bertahan di Keraton (Benteng) "baru" dan pasukan Belanda di Keraton Lama serta di beberapa kapal perangnya. Pasukan Mutinghe dapat dikalahkan, dan Mutinghe bersama sisa pasukannya kembali ke Batavia.

Perang Palembang II (18 September - 30 Oktober 1819)

Gubernur Jendral G.A.G.Ph. van der Capellen bersama Panglima Angkatan Laut Laksamana Constantin Johan Wolterbeek dan Panglima Angkatan Darat Mayjen Hendrik Merkus de Kock merencanakan penyerbuan kembali ke Palembang. Pasukan Belanda berangkat dari Batavia tanggal 22 Agustus 1819. Pada tanggal 30 Agustus 1819 mereka tiba di Mentok, di Bangka sebagian pasukan ini membantu memerangi perjuangan rakyat Bangka, dengan korban cukup banyak.

Pertahanan pasukan SMB II ditempatkan sepanjang Sungai Musi dengan penempatan meriam-meriam untuk menghadang armada Belanda. Konsentrasi pasukan dipusatkan di sekitar Plaju dan pulau Kembaro (Pulau Kemaro) dengan beberapa benteng yang dilengkapi dengan meriam.

SMB II mengangkat putra mahkota (Pangeran Ratu, kemudian bergelar Najamuddin III) sebagai panglima perang. Dalam armada yang menyerbu ke Palembang ini beberapa anggota keluarga Husin Dhiauddin ikut di atas kapal membantu Belanda sebagai penunjuk jalan.

Dari tanggal 18 September sampai 30 Oktober 1819 terjadi pertempuran sepanjang Sungai Musi serta di Palembang. Pasukan Belanda berhasil dipukul mundur. Ini merupakan kekalahan kedua dari Mutinghe. Kemenangan ini dirayakan rakyat Kasultanan Palembang.

Pada bulan Desember 1819 Pangeran Ratu dinobatkan menjadi Sultan Ahmad Najamuddin III, menggantikan ayahnya (SMB II). Sedangkan Sultan Mahmud Badaruddin II menjadi Susuhunan.

Pasukan dari armada Wolterbeek yang berhasil dipukul mundur, sampai di Mentok dan dibagi tiga bagian. Satu bagian yang luka-luka kembali ke Batavia, satu bagian bersama Wolterbeek berlayar ke kepulauan Riau, satu bagian lagi membantu penumpasan perjuangan rakyat Bangka. Komandan tentara Belanda di Bangka dipimpin Letnan Keer. Pertempuran terbesar terjadi di Toboali. Para pemimpin di Bangka saat itu antara lain Raden Keling dan Raden Badar. Pertempuran di Bangka baru berhasil dipadamkan tahun 1821.

Perang Palembang III (22 Mei - 24 Juni 1821)

Keraton Palembang (tahun 1821)
Keraton Palembang (tahun 1821)

Kekalahan pada perang-perang sebelumnya, menjadi perhatian serius bagi pihak Kerajaan Belanda dan pemerintah kolonial Belanda di Batavia. Mereka pun membuat suatu perencanaan yang lebih matang untuk menundukkan Palembang. Langkah ditempuh dengan mempersiapkan pasukan yang jauh lebih kuat serta menggunakan siasat memecah belah kerabat Kesultanan, selai itu jalur pelayaran utama dari/ke Palembang diblokade angkatan laut Belanda.

Armada Belanda untuk penyerbuan ke Palembang dipimpin Mayjen De Kock diberangkatkan dari Batavia pada 9 Mei 1821. Kekuatan armada ini jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Tanggal 13 Mei 1821 armada tersebut berhasil mencapai Mentok dan diperkuat dengan kapal-kapal dan personil yang bertugas memblokade Palembang.Pertempuran-pertempuran besar berlangsung mulai tanggal 22 Mei 1821 sampai 24 Juni 1821 sepanjang Sungai Musi sampai Kertapati. Armada Belanda berhasil mengalahkan pertahanan pasukan Kesultanan Palembang di Benteng-benteng menuju Palembang.

Pertahanan Palembang yang terakhir adalah Benteng Kuto Besak, armada Belanda tidak langsung menyerang pertahanan terakhir tersebut. Tanggal 26 Juni 1821 Jendral De Kock mengirimkan surat kepada Badaruddin II yang isinya agar dia menyerah. Badaruddin menghadapi suatu dilema, yaitu jika bertahan sampai titik darah penghabisan akan terjadi pertempuran yang sangat dahsyat, yang akan mengorbankan seluruh rakyatnya dan keluarganya. Badaruddin II memutuskan menyerah dan ditangkap Belanda, sehingga Palembang jatuh ke tangan Belanda. Pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah penjajahan Belanda di Palembang.

Gugurnya Sultan Mahmud Badaruddin II

Tanggal 13 Juli 1821, SMB II beserta sebagian keluarganya yang ditangkap Belanda dinaikkan kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Pulau Ternate, Maluku Utara.
Sebagian Keluarga Sultan yang tidak tertangkap, mengasingkan diri ke daerah Marga Sembilan yang dikenal sekarang sebagai Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Selama 31 tahun ia dan keluarganya diasingkan di Pulau Ternate, dan pada hari Minggu Wage, 26 September 1852, di Ternate, ia meninggal dunia dalam usia 84 tahun.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
Bangunan Asli sebelum menjadi Museum

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II terletak di tepi Sungai Musi di dekat Benteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera. Museum ini terdiri dari dua lantai berarsitektur Eropa (Belanda) dengan atap rumah limas khas Palembang. Dahulu, wilayah Museum Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan lahan bekas istana yang dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada tahun 1737.

Berdasarkan hasil penelitian dari Tim Arkeologi Nasional tahun 1988, pada lokasi ditemukan fondasi batu bata dari bangunan Kuto Lamo, di atas tumpukan balok-balok kayu yang terbakar. Menurut catatan, bangunan Benteng Kuto Lamo di masa Sultan Mahmud Badaruddin I (Jayo Wikramo, 1724-1758) yang resmi ditempati pada hari Senin, 29 September 1737. Benteng Kuto Lamo yang sering juga di sebut Kuto Tengkuruk atau Kuto Batu, merupakan benteng yang bagian dalamnya pernah berdiri Istana Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikromo atau Sultan Mahmud Badaruddin I.

Pada era kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II, tahun 1821 istana ini mendapat serangan dari Pemerintah Hindia Belanda. Setelah SMB II dan keluarganya berhasil ditangkap Belanda, istana tersebut dikuasai Belanda. Kemudian 7 Oktober 1823 atas perintah Reguring Commissaris Belanda, J. L. Van Seven Hoven, istana tersebut dihancurkan untuk menghilangkan monumental Kesultanan Palembang.
Atas pendudukan Kuta Besak dan penghancuran Kuta Lama, maka konsentrasi kota berada di wilayah ini. Pasar dan kantor-kantor berdiri dilingkungan Kuta Besak, bahkan perahu-perahu pun menjadikannya tempat berlabuh yang ideal.

Pada tahun 1823, seiring penghapusan kekuasaan Sultan Najamuddin IV Prabu Anom (1821-1823 M), Belanda melakukan pembangunan rumah di bekas tapak Benteng Kuto Lamo, yang rencananya diperuntukkan bagi komisaris kerajaan Belanda di Palembang yaitu J. L. Van Seven Hoven, seorang advokat fiskal, yang menggantikan posisi Herman Warner Muntinghe. Muntinghe menjadi komisaris di Palembang selama November 1821 - Desember 1823. Pada tahun 1824, tahap pertama pembangunan rumah/gedung tersebut selesai dan dikenal sebagai gedung siput. Setelah itu, bagian bangunan terus dilakukan penambahan. (Syarufie, Tudhy, 2005. halaman:9).

Bangunan ini selesai didirikan kembali dengan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa dengan arsitektur Palembang sendiri. Dibangun bergaya indis sebagai bangunan yang lazim pada masa itu dan sudah menggunakan bangunan baja beton dan kaca sebagai imbas dari revolusi industri di Eropa. Pada tahun 1825 dan selanjutnya bangunan itu dijadikan Komisariat Pemerintah Hindia Belanda untuk Sumatera Bagian Selatan, sekaligus sebagai kantor Residen Belanda.

Seiring dengan perjalanan waktu dan dinamika sejarah yang terjadi di Kota Palembang, Fungsi bangunan ini teah silih berganti, mulai dari markas Jepang pada masa pendudukan, Teritorium II Kodam Sriwijaaya di awal kemerdekaan yang kemudian berpindah pengelolaan ke Pemerintah Kota Palembang sebelum akhirnya menjadi Museum.

Meskipun telah mengalami renovasi, bentuk asli bangunan tidak berubah. Perubahan hanya dilakukan pada bagian dalam bangunan dengan menambah sekat-sekat dan penutupan pintu-pintu penghubung. Berbeda dengan bangunan yang didirikan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam yang umumnya memakai bahan kayu, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II memakai bahan bata.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan salah satu museum yang terdapat di Kota Palembang atau tepatnya berada pada 104 45’ 40’’BT dan 02 59’25’’ LS. Museum ini meyimpan arca-arca kuno diantaranya Ganesha, Amarawati dan Udha di era Sriwijaya, berbagai macam perabotan tradisional Kesultanan Palembang serta sketsa yang menggambarkan perjuangan rakyat Palembang dalam usahanya mengusir penjajah Belanda (Hastuti, Trini, Sugeng Mardoko. 2008. Hal 36-37).

Pengadaan koleksi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II diawali sekitar tahun 1984, bersamaan dengan dipindahkannya Museum Rumah Bari ke Museum Balaputera Dewa di Jalan Srijaya 1, KM 5.5 Palembang. Museum Rumah Bari yang awalnya dikelola Pemerintah Kota Palembang, untuk kepentingan yang lebih besar dipindahkan ke Museum Provinsi Sumatera Selatan. Namun pemindahan tersebut tidak beserta koleksinya. Koleksi peninggalan Museum Bari-lah yang menjadi cikal-bakal koleksi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, selain koleksi Arca Buddha Siguntang yang terlebih dahulu berada di halaman Museum SMB II.



Sebelumnya:
Sultan Muhammad Bahauddin
Sultan Palembang
-
Digantikan oleh:
Sultan Mahmud Badaruddin III

Di bawah ini adalah daftar lengkap dan resmi 163 tokoh yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Politik
Abdul Halim · Achmad Soebardjo · Adam Malik · Adenan Kapau Gani · Alimin · Andi Sultan Daeng Radja · Arie Frederik Lasut · Djoeanda Kartawidjaja · Ernest Douwes Dekker · Fatmawati · Ferdinand Lumbantobing · Frans Kaisiepo · Gatot Mangkoepradja · Hamengkubuwana IX · Herman Johannes · Idham Chalid · Ida Anak Agung Gde Agung · Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono · I Gusti Ketut Pudja · Iwa Koesoemasoemantri · Izaak Huru Doko · J. Leimena · Johannes Abraham Dimara · Kusumah Atmaja · L. N. Palar · Mangkunegara I · Maskoen Soemadiredja · Mohammad Hatta · Mohammad Husni Thamrin · Moewardi · Teuku Nyak Arif · Nani Wartabone · Oto Iskandar di Nata · Radjiman Wedyodiningrat · Rasuna Said · Saharjo · Samanhudi · Soekarni · Soekarno · Sukarjo Wiryopranoto · Soepomo · Soeroso · Soerjopranoto · Sutan Syahrir · Syafruddin Prawiranegara · Tan Malaka · Tjipto Mangoenkoesoemo · Oemar Said Tjokroaminoto · Wahid Hasjim · Zainul Arifin
Militer
Kemerdekaan
Revolusi
Pergerakan
Sastra
Seni
Pendidikan
Integrasi
Pers
Pembangunan
Agama
Perjuangan


Sumber (Referensi) :
civitasbook.com, ensiklopedia.web.id, ensiklopedia-dunia.nomor.net,
id.wikipedia.org, en.wikipedia.org, www.thristhan.com, palembang.go.id,
sultanpalembang.com, mediabacaan.blogspot.com, infokito.wordpress.com, www.delcampe.net
keratonpalembang.blogspot.com, profil.merdeka.com,books.google.co.id, id.shvoong.com,
kesultanan-palembang.blogspot.com, goenaar.blogspot.com, wartasejarah.blogspot.com, www.profil.web.id,
sejarah.kompasiana.com, www.tokohindonesia.com, qulamirulhakim.blogspot.com, dsb.