Tionghoa (ejaan Hokkien dari kata Hanzi sederhana: 中华; Hanzi tradisional: 中華; pinyin: zhonghua) atau Huaren (Tionghoa: 华人) merupakan sebutan di Indonesia untuk orang-orang dari suku atau bangsa Tiongkok. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering dipakai untuk menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi negatif.[1] Kata ini juga dapat merujuk kepada orang-orang Tiongkok yang tinggal di luar Republik Rakyat Tiongkok, seperti di Indonesia (Tionghoa Indonesia), Malaysia (Tionghoa Malaysia), Singapura (Tionghoa Singapura), Hong Kong, Taiwan, Amerika Serikat, dsb..
Tionghoa di Indonesia
Pembicaraan mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi percaturan orang-orang Tionghoa dalam politik, sosial dan budaya di Indonesia. Kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia walau berakar dari budaya leluhur, namun telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.
Akibat tekanan rezim Orde Baru, banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan nama aslinya dan menggunakan nama-nama lokal, meskipun secara diam-diam masih memakainya untuk kegiatan di kalangan mereka. Namun seiring dengan terjadinya Reformasi, tanpa rasa takut mereka kembali menggunakan nama Tionghoa mereka, meskipun masih banyak yang enggan memakainya kembali.
Istilah-istilah lain yang digunakan untuk menyebut orang Tionghoa-Indonesia antara lain: tenglang, totok, peranakan, WNI keturunan, babah, nyonya, dll.
Sejarah penggunaan istilah
Pada tahun 1900 di Indonesia didirikan organisasi Tiong Hoa Hwee Koan terpengaruh gerakan pembaruan di daratan Tiongkok. Organisasi internasional ini dipimpin oleh Kang Youwei dan Liang Qichao, dan di Indonesia dipimpin oleh Phoa Keng Hek di Jakarta dengan tujuan antara lain mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran Kong Hu Cu dan mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa.
Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880-an, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Tiongkok dengan mendirikan Republik Tiongkok (中華民國, Zhonghua Min'guo yang secara harfiah berarti Negara "Rakyat Chung Hwa") pada tahun 1911, setelah menggulingkan Dinasti Qing. Kemenangan Revolusi Tiongkok ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan kebangkitan nasional di Indonesia. Sejak saat itu orang Tionghoa-Indonesia menyebut dirinya orang Tionghoa, yang diserap dari bahasa Tionghoa, dialek Hokkian, dan menolak disebut "Cina" (pada waktu itu ditulis "Tjina") yang sudah digunakan terlebih dahulu dan berkonotasi negatif, yang diserap dari bahasa-bahasa Eropa dan bahasa Jepang. Mao Zedong juga meneruskan penggunaan kata Zhonghua untuk negara Republik Rakyat Tiongkok (中華人民共和國, Zhonghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949.
Tahun 1928, Soekarno yang merasa berutang budi kepada masyarakat Tionghoa karena koran-korannya banyak memuat tulisan Soekarno, sepakat mengganti sebutan "Cina" dengan "Tionghoa". Koran Melayu-Tionghoa, Sin Po, misalnya, adalah koran yang bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Koran ini merupakan publikasi pertama yang mengganti sebutan "Hindia Belanda" dengan Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman.
Orde Lama
Tahun 1945 di dalam teks penjelasan UUD 1945 Pasal 26 menggunakan istilah Tionghoa. Tahun 1948 di masa pemerintahan Presiden Soekarno selepas kemerdekaan, Indonesia mengalami keadaan genting menyangkut keberadaan dan penamaan "Cina" dan "Tionghoa". Meletusnya pemberontakan PKI di Madiun disinyalir mendapat dukungan dari Partai Komunis Tiongkok, beberapa orang Tionghoa-Indonesia pun mendukungnya, meskipun dalam jumlah yang kecil. Karena adanya benturan politik antara kaum nasionalis dan komunis, akibatnya secara umum orang Tionghoa-Indonesia dijadikan kambing hitam dan dikait-kaitkan dengan kegiatan komunisme. Semua itu terus berlangsung sampai jatuhnya Pemerintahan Presiden Soekarno, digantikan rezim Orde Baru [2].
Tahun 1948 menilik dari perkembangan politik yang kian pelik, munculah larangan tak resmi penggunaan istilah Tionghoa karena istilah ini digunakan oleh Partai Komunis Indonesia.[3] Tahun 1959 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 yaitu larangan dagang bagi semua orang asing (termasuk orang Tionghoa dengan kewarganegaraan Tiongkok) di Daerah Tingkat II.
Tahun 1959 orang Tionghoa-Indonesia dihadapkan pada pilihan antara menjadi warga negara Tiongkok atau warga negara Indonesia karena Indonesia tidak mengenal sistem kewarganegaraan ganda. Konflik ini kemudian meluas dengan puncaknya peristiwa rasialisme pada 10 Mei 1963 di Bandung dan merambat ke beberapa kota lainnya seperti di Garut 17 Mei 1963 dan kembali terjadi di kota Bandung 5 Agustus 1973. (Lihat pula Kronologi SBKRI)
Tahun 1965 terjadi pemberontakan PKI (G30S/PKI) dan kecurigaan akan dukungan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang akhirnya menggulingkan Presiden Soekarno.
Orde Baru
Tahun 1967 pemerintahan Orde Baru pada di bawah pemerintahan Presiden Soeharto dalam salah satu tindakan pertamanya mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Tiongkok dilakukan di Indonesia, dan mengeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 yang mengubah kata "Tionghoa"-"Tiongkok" menjadi "Cina"[4]
Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok adalah salah satu pihak yang menyatakan keberatannya atas pemakaian istilah "Cina" di dalam bahasa Indonesia untuk merujuk kepada negara tersebut. Mereka keberatan dengan isi Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dan Surat Edaran Nomor 06 Tahun 1967 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soeharto yang dinilai memulihkan istilah yang mengandung konotasi negatif, dan bukan sebaliknya seperti yang digunakan sebagai alasan.
Tahun 1978 diterbitkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286 Tahun 1978[5]. Pemerintah Indonesia melalui Bakin mengawasi gerak-gerik orang Tionghoa-Indonesia melalui sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) dengan alasan untuk mengawasi masalah komunisme.
Era Reformasi
Setelah era Reformasi, maka satu per satu kebijakan rasialis tersebut dicabut. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dicabut dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 [6] namun Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 maupun Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 tidak turut dicabut, hingga tahun 2004 kelompok-kelompok etnis Tionghoa yang beranggapan bahwa istilah Tiongkok/Tionghoa yang seharusnya digunakan masih memperjuangkan dicabutnya surat edaran ini [7], antara lain Eddy Sadeli, anggota Komisi III DPR RI, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa, Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia , dll.
Adapun daftar peraturan yang dinilai merupakan bentuk diskriminasi adalah:[8]
- Staatsblad Nomor 1849-25 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Eropa.
- Staatsblad Nomor 1917-130 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Timur Tionghoa.
- Staatsblad Nomor 1920-751 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Indonesia Asli beragama Islam.
- Staatsblad Nomor 1933-75 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Indonesia Asli beragama Kristen.
- Staatsblad Nomor 1909 No 250 jo 1917 No 497 pasal 6 No 171 tentang Perkumpulan Rahasia Cina.
- Instruksi Presidium Kabinet RI No 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian masalah Cina.
- Surat Edaran Presidium Kabinet RI No SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina.
- Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
- Instruksi Presiden No 15/1967 tentang pembentukan staf khusus urusan Cina.
- Instruksi Mendagri No 455.2-360 tentang Penataan Kelenteng.
- Keputusan Kepala Bakin No 031/1973 tentang Badan Koordinasi Masalah Cina.
- SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No 286/1978 tentang pelarangan impor, penjualan dan pengedaran terbitan dalam bahasa dan aksara Cina.
- Surat Edaran Bank Indonesia No SE 6/37/UPK/1973 tentang Kredit Investasi untuk Golongan Pengusaha Kecil.
- Surat Edaran Menteri Penerangan No 02/SE/Dit tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina.
Pada tanggal 12 Maret 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengabulkan petisi tersebut, dan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014[9], setelah sebelumnya judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung tidak dikabulkan, karena hal tersebut berada di luar kewenangan mereka.[10]
Lihat pula
Referensi
Pranala luar
Sumber :
sepakbola.biz, wiki.kpt.co.id, id.wikipedia.org, dsb.